Oleh: Mukhlis A. Hamid, M.S
1. Pendahuluan
Pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal dari hari ke hari semakin sarat dengan berbagai persoalan. Tampaknya, pengajaran sastra memang pengajaran yang bermasalah sejak dahulu. Keluhan-keluhan para guru, subjek didik, dan sastrawan tentang rendahnya tingkat apresiasi sastra selama ini menjadi bukti konkret adanya sesuatu yang tak beres dalam pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal. Hasil wawancara bebas dengan para guru bahasa dan sastra Indonesia dalam berbagai kesempatan selama ini menunjukkan bahwa secara umum, keluhan-keluhan dalam pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal berkisar pada hal-hal berikut.
Pertama, pengetahuan dan kemampuan dasar dalam bidang kesastraan para guru sangat terbatas. Materi kesastraan yang mereka peroleh selama mengikuti pendidikan formal di LPTK sangat terbatas. Materi kuliah kesastraan yang mereka peroleh lebih bersifat teoretis, sedangkan yang mereka butuhkan di lapangan lebih bersifat praktis. Kedua, buku dan bacaan penunjang pembelajaran sastra di sekolah, khususnya di SLTP dan SMU juga terbatas. Keterbatasan buku penunjang ini tidak terjadi di SD karena hampir semua SD, di daerah perkotaan khususnya, setiap tahun menerima kiriman buku bacaan dari Proyek Perbukuan Nasional Depdikbud. Cuma saja, pemanfaatan buku bacaan tersebut tampaknya belum maksimal karena ada faktor lain yang berkait dengan ini, yaitu faktor minat siswa atau subjek didik. Minat belajar dan minat membaca para siswa masih sangat rendah. Faktor ketersediaan waktu, manajemen perpustakaan sekolah, dan dorongan dari guru menjadi penyebab utama dalam hal ini.
Berbagai kendala di atas menyebabkan pengajaran sastra di berbagai jenjang pendidikan formal hingga saat ini belum mencapai sasaran sebagaimana yang diharapkan. Tujuan akhir pembelajaran sastra, penumbuhan dan peningkatan apresiasi sastra pada subjek didik belum menggembirakan. Tulisan ini mencoba mengulas secara ringkas akibat yang muncul dari berbagai faktor di atas beserta alternatif pemecahan untuk kita diskusikan lebih lanjut. Hal ini tentu saja dimaksudkan untuk mencoba mencari titik temu dan kesamaan persepsi kita ke arah peningkatan kualitas pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal pada masa yang akan datang.
2. Pengajaran Sastra di Lembaga Pendidikan Formal: Terasa Ada Terucapkan Tidak
Beranjak dari berbagai keluhan yang dikemukakan di atas, tampaknya ada beberapa hal yang tampaknya perlu dicermati ulang dalam pembelajaran sastra di sekolah dengan menggunakan acuan kurikulum yang diberlakukan saat ini. Pertama, dalam Kurikulum 1994 yang diberlakukan di SD, SLTP, ataupun SMU disebutkan bahwa pengajaran sastra dalam berbagai aspeknya diarahkan pada penumbuhan apresiasi sastra para siswa sesuai dengan tingkat kematangan emosionalnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran sastra idealnya diarahkan pada penumbuhan apresiasi pada siswa. Apresiasi sebagai sebuah istilah dalam bidang sastra dan seni pada umumnya sebenarnya lebih mengacu pada aktivitas memahami, menginterpretasi, menilai, dan pada akhirnya memproduksi sesuatu yang sejenis dengan karya yang diapresiasikan. Karena itu, kegiatan apresiasi tidak hanya bersifat reseptif: menerima sesuatu secara pasif. Tetapi, yang lebih penting, apresiasi juga bersifat produktif: menghasilkan sesuatu secara aktif. Karena itu, pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal idealnya tidak hanya sebatas pada pemberian teks sastra dalam genre tertentu untuk dipahami dan diinterpretasikan oleh siswa (apresiasi reseptif). Pengajaran sastra harus diarahkan pada penumbuhan kemampuan siswa dalam menilai atau mengkritik kelebihan dan kekurangan teks yang ada dan akhirnya, berdasarkan penilaian/kritik tersebut, siswa mampu membuat sebuah teks lain yang lebih bermutu, baik teks yang segenre ataupun tidak.
Mungkin ada di antara kita yang menganggap apa yang diuraikan di atas terlalu ideal, hanya ada dalam angan, tetapi sukar ditemukan di alam nyata. Bagaimana mungkin guru, sebagaimana disebutkan pada bagian awal tulisan ini, yang pengetahuan dan kemampuan dasar kesastraannya sangat terbatas diminta untuk mengajar siswa menghasilkan kritik teks dan bahkan menghasilkan karya sastra dalam berbagai genre. Dalam hal ini, ada dua alternatif yang mungkin dapat dipilih. Pertama, secara personal kita harus menyadarkan diri sendiri bahwa kita secara sadar sudah memilih profesi guru sebagai pekerjaan. Sebagai seorang guru seharusnya kita mengetahui sedikit lebih banyak daripada murid atau subjek ajar. Penyadaran diri ini memacu kita untuk menambah wawasan dan keterampilan dalam bidang yang kita ajarkan secara otodidak. Kedua, kita hanya berperan sebagai organisator dan fasilitator dalam pembelajaran, sedangkan nara sumber bagi anak didatangkan dari luar. Guru dalam hal ini mengundang atau mengajak sastrawan ke sekolah pada waktu tertentu. Bila perlu dan memungkinkan sekali waktu siswa dibawa langsung ke tempat pagelaran sastra. Kesempatan ini dapat digunakan juga untuk berdialog secara langsung dengan sastrawan sehingga secara tidak langsung menumbuhkan kemampuan apresiasi sastra siswa melalui kegiatan yang lebih bersifat produktif di samping yang bersifat reseptif. Langkah ini sekaligus dapat digunakan untuk meninggalkan pemikiran dan strategi “loncat sajalah” dalam pembelajaran sastra di sekolah.
Kedua, ketiadaan buku dan bacaan penunjang pembelajaran sastra di sekolah menyebabkan pelaksanaan pembelajaran aspek sastra menjadi tidak berimbang dengan aspek bahasa. Dalam kurikulum yang sudah disempurnakan saat ini pun materi ajar sastra masih terintegrasi dengan materi kebahasaan karena pelajaran khusus yang bernama “sastra” tidak ada. Yang ada hanyalah pelajaran Bahasa Indonesia atau pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Dalam bagian Rambu-Rambu Pembelajaran dalam kurikulum sebenarnya disebutkan bahwa pengajaran aspek bahasa dan sastra dilaksanakan secara berimbang. Malah, dalam kurikulum pun disebutkan bahwa melalui pendekatan integratif yang dikembangkan saat ini, materi ajar sastra dapat digunakan untuk mengajarkan materi kebahasaan dalam berbagai aspeknya kepada siswa. Bukankah teks sastra dapat dimanfaatkan untuk mengajar kosakata, lafal, kalimat, paragraf, keterampilan membaca, keterampilan menulis, keterampilan berbicara, dan sebagainya.
Kendala ketiadaan buku dan bahan penunjang pembelajaran yang dikeluhkan selama ini sebenarnya dapat ditanggulangi melalui beberapa cara. Pertama, pemanfaatan media massa tercetak, seperti koran harian, mingguan, tabloid, dan majalah yang memuat karya sastra. Sekolah dapat berlangganan secara rutin koran atau majalah tertentu sesuai dengan kemampuan dana sekolah. Bila tidak memungkinkan, guru atau pihak sekolah membeli koran atau majalah tertentu pada hari, minggu, atau bulan tertentu sesuai dengan keperluan. Bila hal ini juga tidak memungkinkan, guru menugasi siswa untuk mencari secara personal atau kelompok teks sastra yang dipublikasikan di media cetak sesuai dengan topik yang diajarkan.Untuk publikasi lokal, harian Serambi Indonesia edisi hari Minggu dan mingguan Aceh Ekspress merupakan dua media yang dapat digunakan untuk itu.
Cara lain yang dapat digunakan ialah pemanfaatan tradisi lisan yang masih berkembang dalam masyarakat. Dalam hal ini, guru meminta siswa untuk membuat rekaman (kaset atau tertulis) folklor sastra yang ada dalam masyarakat di sekitarnya. Hasil rekaman inilah yang dibawa dan dibicarakan di sekolah. Di samping itu, pemanfaatan media elektronik daerah dan nasional (milik pemerintah atau swasta) yang pada hari dan saat tertentu menayangkan ragam sastra tertentu untuk dinikmati oleh pemirsa. Tradisi sastra lokal, pembacaan puisi, musikalisasi puisi, drama, dan sebagainya yang ditayangkan di radio dan televisi ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembelajaran bagi siswa melalui pemberian tugas secara personal ataupun kelompok.
Ketiga, persoalan minat belajar sastra. Faktor minat belajar memang merupakan masalah lain yang sangat mempengaruhi efektivitas pencapaian tujuan pembelajaran sastra di sekolah. Masalah minat ini sangat personal sifatnya sehingga pola penanganannya pun sangat bervariasi. Namun, satu hal yang pasti, faktor penggunaan metode penyajian dan pengevalusian hasil pembelajaran sastra di sekolah erat sekali hubungannya dengan penumbuhan minat belajar pada siswa. Hasil pengamatan dan wawancara dengan rekan-rekan guru menunjukkan bahwa selama ini pembelajaran sastra cenderung bersifat teoretis. Hal ini berhubungan dengan berbagai faktor lain, termasuk faktor kemampuan guru dan fasilitas belajar. Kurikulum sebenarnya tidak menuntut pemberlakuan satu metode tertentu dalam pembelajaran sastra. Kurikulum malah memberikan kesempatan pada guru untuk menggunakan berbagai metode secara bervariasi dalam penyajian materi tertentu sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai. Karenanya, orientasi pada pengajaran konsep teori sastra dan sejarah sastra tampaknya sudah saatnya dikurangi. Yang lebih dipentingkan saat ini tampaknya adalah pengakraban siswa dengan karya sastra sehingga mereka menemukan keasyikan personal dalam membaca, mengkritik, dan mengkreasikan teks sastra. Metode respon-analisis, strata norma, dan pendekatan-pendekatan lain secara bervariasi sudah saatnya digunakan dalam pengkajian teks sastra di kelas. Untuk itu, guru perlu membaca buku dan media cetak lain yang menjelaskan konsep dasar dan teknik penerapan metode atau pendekatan tersebut.
Hal lain yang erat sekali hubungannya dengan penumbuhan minat pada siswa adalah penggunaan teknik evaluasi pembelajaran. Selama ini, evalusi pembelajaran sastra lebih diarahkan pada penguasaan teori dan sejarah sastra. Soal-soal buatan guru ataupun soal standar nasional belum berorientasi sepenuhnya pada evaluasi yang bersifat apresiatif. Evaluasi yang bersifat apresiatif seharusnya beranjak dari hakikat karya sastra sebagai karya yang memungkinkan timbulnya interpretasi yang beragam, yang mungkin berbeda antara satu siswa dengan siswa yang lain. Karenanya, penggunaan soal bentuk isian ataupun soal uraian tampaknya lebih tepat digunakan dalam evaluasi pembelajaran sastra. Penggunaan soal bentuk yang lain, pilihan berganda misalnya, memaksa siswa untuk memilih satu jawaban yang dianggap paling tepat oleh pembuat soal sehingga interpretasi personal siswa tidak berkembang.
3. Penutup
Tampaknya masih banyak yang harus dilakukan untuk menjadikan pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal tidak lagi sarat dengan berbagai masalah pada masa yang akan datang. LPTK negeri dan swasta (FKIP, STKIP, dsb.) sebagai lembaga yang mendidik calon guru sastra sudah saatnya meninjau kembali penetapan jenis dan bobot mata kuliah kesastraan yang diprogramkan per semester, isi silabus per mata kuliah, kualifikasi dosen pengajar mata kuliah kesastraan, dan berbagai hal lain yang berkait dengan perkuliahan kesastraan di LPTK. Kecenderungan untuk menganggap kuliah kesastraan itu mudah, sepele, dan dapat diajarkan oleh siapa saja selama ini sudah saatnya ditanggalkan.
Bagi rekan-rekan guru yang sudah terlanjur memilih menjadi guru bahasa dan sastra Indonesia (dan daerah) di lembaga pendidikan dasar dan menengah sudah saatnya kita mengintrospeksi diri dan bertekad memberikan yang terbaik untuk pengajaran sastra. Kecenderungan untuk pasrah menerima kekurangan dan keterbatasan diri, keterbatasan fasilitas, dan berbagai keterbatasan lain sudah saatnya dibuang. Demikian juga halnya dengan kecenderungan untuk asal masuk kelas, asal anak-anak tidak ribut, asal target kurikulum tercapai, dan berbagai asal-asalan lain. Mestinya kita bangga bila murid kita mampu membaca puisi dengan baik, mampu membaca cerpen dengan benar, mampu mempublikasikan puisi atau cerpen di media cetak tertentu, terlibat dalam kelompok musikalisasi puisi, terlibat dalam kelompok teater, dan berbagai aktivitas kesastraan lainnya, meskipun dari awal kita sadari bahwa pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal tidak dimaksudkan untuk melahirkan penyair, cerpenis, dramawan, dan praktisi sastra lainnya.
Bagi adik-adik yang sudah terlanjur menjadi mahasiswa di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia sudah saatnya kita ubah visi kita tentang sastra (dan bahasa). Menjadi calon guru sastra (dan bahasa) tidak semudah dan tidak senaif yang dibayangkan oleh orang lain di luar kita. Malah, yang sering terjadi di lapangan, kelemahan dalam bidang studi lain dihubungkan dengan kegagalan guru bahasa (dan sastra) dalam menumbuhkan kemampuan membaca, kemampuan bernalar, dan kemampuan-kemampuan lain yang diperlukan dalam bidang studi tersebut. Sebagai calon guru sastra (dan bahasa) pada masa yang akan datang seharusnya kita punya kemampuan yang lebih baik daripada pendahulu kita. Berbagai kemudahan dan fasilitas yang ada dan ditawarkan dalam pembelajaran sastra saat ini hendaknya dimanfaatkan secara maksimal. Bila perlu, kegiatan lain yang berkait dengan kesastraan yang dilaksanakan di luar kampus kita ikuti untuk menambah bekal ilmu dan bekal keterampilan yang kita butuhkan nanti saat menjadi guru.
Semoga ulasan ini menggugah kita semua dalam usaha peningkatan kualitas pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal. Terima kasih.
Daftar Bacaan:
Aminuddin. 1990. Sekitar Masalah Sastra: Beberapa Prinsip dan Model Penerapannya. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh.
Gani, Rizanur. 1988. Pengajaran Sastra Indonesia: Respon dan Analisis. Padang: Dian Dinamika Press.
Nurhayati dan Yuli Karsiah. 2000. “Peningkatan Kemampuan Siswa Memahami Puisi dengan Model Strata Norma” dalam Jurnal Ilmu Pendidikan, Februari 2000. Malang: Universitas Negeri Malang.
MENCARI SOLUSI PENGAJARAN SASTRA INDONESIA
DALAM PERJALANAN PULANG
Cerpen Imron Supriyadi
Pukul 21.30 Wib lebih sedikit, saya dan Minah, isteri saya keluar dari keramaian undangan. Untuk sampai ke depan pintu gerbang rumah itu, sesekali saya dan Minah harus bersalaman, atau paling tidak melempar senyum pada para undangan, yang rata - rata belum saya kenal. Seharusnya, saya dan Minah bahagia, ketika Darwin, salah satu penduduk baru dikompek itu memberi kehormatan bagi manusia semacam kami untuk bertemu dengan para eksekutif, rekanan dan kolega Darwin malam itu. Tapi entahlah, di tengah keceriaan para undangan yang hadir, saya dan Minah justru merasakan kekakuan, yang membuat kami ingin segera meninggalkan rumah itu.
"Mas, para undangan tadi, orang kaya semua?" Tanya Minah setelah kami sudah lima puluh meter keluar dari rumah Darwin.
"Mungkin", Jawab saya pendek.
"Lho kok mungkin!" Minah keheranan.
"Ya, memang begitu! Dalam hidup ini kan memang tidak ada tidak ada yang pasti. Semuanya serba mungkin. Mungkin kaya, mungkin miskin. Yang pasti hanya satu, kamatian. Itu pun masih masih serba mungkin, mungkin hari ini, besok atau mungkin tahun depan".
"Jadi pakaian para undangan itu, belum memastikan kalau mereka orang kaya, begitu?!" Ujar Minah, sembari menarik lengan saya, ketika saya selangkah lebih maju di depannya.
"Mungkin!"
"Kok mungkin terus, Mas?!" Minah agak kesal.
Saya tidak langsung menjawab, sebab suara saya tak mungkin mengimbangi derum mesin mobil yang tiba - tiba melintas di jalan itu.
"Ya, kalau bukan mungkin, lantas apa?!" Ucap saya meningkahi derum mesin mobil yang makin menjauh dari kami.
"Kamu tahu enggak, Min. Pakaian mereka, senyum para undangan, dan kemewahan dirumah Darwin itu, banyak kesemuan hidup yang tidak pasti. Makanya aku bilang mungkin tadi, Min".
Sejenak, Minah menoleh pada saya, lalu matanya kembali pada trotoar jalan yang sebagian banyak termakan oleh arus air yang tak tertampung di got akibat bertumpuknya sampah.
Saya tahu, Minah mungkin masih sulit menerjemahkan ucapan saya, sehingga beberapa saat isteri saya itu harus diam.
"Tapi aku kurang yakin, jika para undangan itu bukan orang kaya. Sebab, dari cara berpakaian dan nada bicaranya saja sudah menunjukkan bahwa mereka kumpulan orang - orang yang berkecukupan".
Minah mencoba berargumen, meskipun baru kali itu ia bertemu dan berkumpul atau berjabat tangan dengan para eksekutif.
"Itu karena kamu memandang dengan pandangan dhahir. Belum tentu pakaian yang dikenakan, kemewahan yang mereka tampilkan itu sebagai wujud dari kehidupan nyata bagi mereka. Mungkin stelan jas itu dapat dari meminjam tetangga, dari studio tailor, dari pinjaman kantor, atau mungkin harus berhutang dengan jaminan sertifikat tanah”.
“Itu sekedar kostum, Min! Kostum! Bukan bentuk kenyataan dari kehidupan mereka."
"Begitu berani Mas mengatakan demikian?!" Minah menimpali.
“Ya! Karena sudah terlalu banyak orang lebih memilih hidup dengan membungkus diri dengan kepalsuan, menyelimuti diri dengan jubah-jubah, menghiasi rona wajahnya dengan bermacam topeng, sehingga dengan semua itu, mereka tidak menyadari bahwa mereka telah menjadi kendaran dari nafsu mereka sendiri. Sementara, hati nurani, akal pikiran, alat pengendali nafsu, justru mereka tinggal jauh di belakang, demi mendapat kebahagiaan sepintas".
Para undangan terlihat masih sibuk dalam kelompok lobinya masing - masing, sementara kami semakin jauh meninggalkan acara menuju bis kota yang antri menjemput penumpang. Mungkin hanya kami yang terlihat berpakaian seadanya dibanding dengan para undangan lainnya. Mungkin perasaan percaya diriku membuat acara ini tak berbeda dengan acara atau selamatan dikampungku dahulu. Tapi, justru kewajaran ini membuat aku tak mau menipu diri.
Di dalam bis kota, saya dan Minah terus berbicara tentang kesan-kesan selama mengikuti acara. Berulangkali saya terus mencoba untuk tetap bertahan lebih lama lagi selama mengikuti acara selamatan dirumah Darwin, tapi, begitulah kenyataannya kami harus lebih dahulu meninggalkan para undangan untuk pulang kerumah kembali ke habitat kami yang sebenarnya.
"Mas, aku tadi malu-malu dan minder sekali. Tapi setelah mendengar penjelasan, Mas, Minah pikir, apa yang mesti membuat kita malu, apalagi minder. Toh, kita tidak mencuri, bahkan kita juga undangan meskipun dengan pakaian yang sangat sederhana. Justru, kita berdosa kalau kita minder. Kita ini tidak ada beda dengan mereka Min. Kata Tuhan, hanya nilai ibadah yang membedakan manusia”.
Minah terus berbicara dengan semangat. Ia tampak percaya diri. Saya mengangguk membenarkan pembicaraan Minah, sesekali saya menggaris bawahi setiap pembicaraan Minah. Semangat dan percaya diri inilah yang menjadi daya tarik utamanya, hingga ketika hendak memutuskan untuk segera menikah walaupun dalam kondisi yang sangat memprihatinkan baik secara mental maupun materi, karena setiap saat harus berhadapan dengan pihak keluarganya yang tidak menyetujui hubungan kami terus berlanjut. Mengingat, saya dinilai tidak cukup layak untuk menghidupi keturunan Raden Mas dan Raden Ayu dari Minah. Tapi, Minah memilh taqdirnya dengan penuh percaya diri.
"Sudah sampai…., Mas !", Minah mengagetkan lamunan.
Tanpa saya sadari, ternyata saya sempat melamun, terbayang masa-masa saat mengambil keputusan untuk segera menikah dengan Minah yang penuh liku - liku dan tantangan. Tapi , disitulah kenangan yang paling manis yang sulit untuk dilupakan.
Kami tepat di mulut Gang Swadaya menuju rumah kami yang hanya berjarak seratus meter dari jalan besar. Sebenarnya jarak antara rumah kami dan rumah Darwin tidak begitu jauh, bahkan dapat ditempuh dengan berjalan kaki saja. Tapi , semenjak banyak berdiri bangunan bertingkat dan kompleks - kompleks dengan pagar beton yang menutup jalan kecil membuat para pejalan kaki harus mengikuti arah jalan raya atau mengikuti rute bis kota yang lebih banyak berputar-putar keliling kompleks baru sampai pada tujuan.
"Dulu, kita tak perlu repot seperti ini. Tapi, semejak kampung sawah berubah komplek perumahan elite dan berdiri kompleks pertokoan kita jadi mutar-mutar kayak kipas angin", Celoteh Minah, tanpa keluh dan sedikti manja.
"Ya, begitulah hidup yang sesungguhnya terjadi. Bukan sesungguhnya yang diingini. Perlombaan materi justru banyak memakan banyak korban. Penduduk kampung sawah yang lahan rumahnya tergusur, kini entah tersebar kemana - mana. Mereka tersingkir oleh derap pembangunan…..", Jawabku pelan sambil merangkul pundak Minah.
"Kalau begitu, mereka korban pembangunan", Tanya Minah.
"Betul, karena mereka tidak berdaya. Mereka tidak mempunyai akses terhadap kebutuhan strategis, sehingga tak mempunyai hak sama sekali terhadap kepentingan mereka sendiri di tengah laju pembangunan. Bahkan lahan kebutuhan fisik merekapun dirampas atas nama pembangunan".
Tanpa terasa, kami telah sampai di rumah kontrakan tempat kami tinggal. Saya langsung merebahkan diri usai berganti pakaian. Sementara, Minah sibuk membenahi rumah, lalu bersiap untuk tidur setelah selesai berbenah diri.
Malam semakin larut untuk menidurkan kami. Tapi kota tak pernah larut dalam kebisingan. Tinggal menunggu cerita untuk esok dalam episode kepalsuan, penindasan atau cerita tentang penggusuran rumah kumuh untuk pertokohan, supermaket atau perumahan elite. Mungkin esok daerah tempat tinggal kami yang menjadi agenda penggusuran.**
Palembang, 12 Agustus 2002
SELAMAT PAGI MR. GAGU
Cerpen Imron Supriyadi
Baru sekarang aku merasakan duduk diantara orang – orang pintar. Berjajar dalam setengah lingkaran, duduk diatas kursi empuk, yang dulu tak pernah akan terbeli dri gajiku sebagai carik desa. Seakan, kini aku tengah bermimpi. Apalagi, ketika dibenakku terbesit masa lalu saat aku masih menjadi carik desa. Tapi ini bukan mimpi ! Untuk memastikn antara tidur dan tidak, kucubit lengan kiriku. Ah, masih juga terasa sakit. Berarti, ini benar – benar nyata. “ Nah, ado nian “, batinku girang.
Aku benar – benar ketemu, bersalaman, tertawa bersama dengan orang – orang yang selama beberapa tahun , hanya kukenal melalui radio, atau kulihat di layar teve, jika kebetulan aku turut nonton di rumah Pak lurah. Sekarang, aku dan mereka sejajajr. Ini bearti, besok, lusa dan seterusnya, aku tak perlu lagi repot – repot menunduk – nunduk jika berpapasan dengan mereka sebagai tanda rasa hormatku. Sebab, mereka bukan Tuhan atau Nabi. Bahkan banyak orang bilang, itu feodal, warisan yang tak perlu dibudidayakan.
Seandainya keberadaanku sepuluh tahun lalu sudah seperti sekarang. Dielu – elukan oleh orang banyak, mungkin aku tak akan ditolak ketika aku ingin memperistri Raden Ayu Hapsari, putri bungsu Raden Mas Dosomuko. Tapi sepertinya, fodalisme masih begitu kuat mencengkram di keluarga itu. Ya, apa boleh buat, dengan berat hati, akupun harus berkata, “ sepertinya Tuhan punya maksud lain dibalik semua ini. Mungkin inilah perwujudan sifat rahman dan rahimNya Tuhan terhadapku”. Ah, itu hanya masa silam. Toh semua kini telah berubah. Masih terlalu banyak yang mesti harus aku kerjakan untuk memenuhi panggilan hati nurani.Kedudukan kini, adalah sebuah amanat yang tidak saja akan kupertanggungjawabkan di depan orang banyak lima tahun mendatang. Namun akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Tuhan.
Hari ini besok dan seterusnya, aku akan tetap duduk disini. Diatas kursi yang mungkin dulu setiap orang sanggup menjual apa saja demi kedudukan sekarang. Tapi aku dan orang – orang didalam gedung ini haruskah tetap menjadi sekelompok paduan koor atau paduan suara seperti tahun sebelumnya, duduk bersandar, memadukan sebuah lagu yang sama, lalu menganggukkan kepala sesuai dengan aba – aba dirgen, demi sebuah stabilitas ?.
Sesekali, dalam ruang tertutup yang cukup besar itu, terdengar tepuk riuh yang kadang aku sendieri tidak tahu apa yang sedang ditepuki. Ditengan riuhnya tepuk tangan, sayup – sayup kudengar beragan titipan dari pojok – pojok dussun. Suara itu terus menyusup dari lekuk –lekuk gedung itu, merayap, emnggetarakan gendang telingaku. Aku terperanjat.” Oh, disana dipojok dusun, msih ada ketertindasan. Masih ada ketidakberdayaan untuk menuntut hak sama atas pembagian rezeki nasional. Masih ada buruh yang dijadikan sapi perah. Masih ada pemerkosaan hak. Masih ada ancaman untuk mereka yang suka berkumpul diberbagai LSM. Lagi, disana, di Kebon Semai, pasar 16 Ilir, amsih ada penekanan bagi pedagang kecil untuk membayar mahal satu los toko. Masih ada rencana penggusuran pasar buah. Lalu di perdusunan, masih ada ketakutan yang mencengkeram, sehingga merekapun takut untuk menyuarakan hak yang sudah sedemikian panjang terampas. Dan besok, apalagi yang muncul senada dengan itu ?.
Sebuah berkas kubuka. Didalamnya masih mengabarkan tentang keterbelakangan. Keterpurukan batin. Kesenjangan sosial. Keringat sepertinya memnag sudah menjadi darah. Ia membasahi setiap pintu – pintu rumah reot dan piring – piring di dapur. Berpuluh nyawa terbuang tanpa tegur sapa. Ia hilang tak ada lagi kabar verita tentang siapapembunuhnya. Seorang Ibupun menangis, ketika menatap seonggok mayat yang telah membujur kaku denganulu hati yang robek oleh pisau lipat. Hanya airmata yang tiba – tiba jatuh membasahi kain putih dengan bercak darah itu. “ Tuhan, berikan segal keadilanMu kepada manusia – manusia yang telah mengambil hakMu sebelum tiba waktunya”, katanya sambil mengenadahkan kedua tangannya.
Segumpal tanggung jawab berada dipundakku kin. Tapi apalah kekuatan yang dimiliki mantan cari desa sepertiku?. Bukankah atas jasa pak lurah yang telah mengantarkanku bisa duduk disini?. Lantas bagaimana jika kemudian aku harus sedikit menentangnya?. Ataukah ini sebuah pengingkaran atas jasa – jasanya ? Tapi, jika aku tak mampu bicara disini, bagaimana dengan tanggung jawabku yang mesti kuemban? Akankah aku hany duduk tanpa ada kata dan tindakan yang nyata bagi suara – suara dari pedusunan?.
Pertanyan – pertanyan itu kian menggedor – gedor setiap denyut napasku, perasaanku, nuraniku, lantas mengalir ke urat – urat kecil bersama aliran darah yang telah 40 tahun menyetubuhiku. Aku terus bermain kata dengan kebingunan dan kebisuanku. Entah, mengapa di tengah keramaian, tempat aku duduk berdampingan dengan ratusan orang – orang disini aku tetap saja merasa sendiri. Ya , sendiri dalam keramaian, ramai dalam kesendirian.
Tak berbeda dengan hari kemarin. Di gedung itu, aku masih duduk dan merasakan hal sama seperti sebelumnya. Kembali kubongkar beberapa berkas. Meneliti hurf per huruf, kata per kata dan sampai pertemuan itu usai. Tak ada yang dapat kuberikan pada tetangga untuk menjawab pertanyaan dan keluahn mereka.
“ Ya semua akan kami tampung. Dan mudah – mudahan, dalam beberapa hari mendatang, sudah dirapatkan dan ada keputusan. Sudah ya begitu saja. Saya tidak punya wewenang untuk memutuskan”, Kata ku menjawab setiap kelompok warga yang datang menemuiku. Ini memang hanya sebuah retirika yang tidak semestinya diungkap pada zaman seperti sekarang. Namun, ya bagaimana. Paling tidak aku sudah menghibur hati mereka, meskipun dari denyut nadiku terdengar suara lantang, “ itu hanya sebuah alibi. Ini kompensasi untuk merdam akasi massa. Ini sebuah pengingkran amanat !”.
“ Brak! Gluduk!”, Tiba – tiba aku terjungkal dari sebuah kursi. Aku tersungkur seolah ada kekuatan lain yang seketika menghempasku dari tempat dudukku. Aku menyeringai menahan kenyerian pinggang yang tersantuk lantai. Ternyata, jamu kuat yang setiap pagi kuminum satu jam sebelum berangkat, belum mampu merendam ras sakit. Kucoba untuk minta tolong pada orang – orang di sekitarku yang masih sibuk dengan bekas –berkas diatas meja. Aneh! Tak sesiapa yang menyapaku.
“ Hoi!” Teriakku keras.
Suasana sepertinya masih riuh. Mereka tak juga mendengar. Sekali lagi aku berteriak,
“ Hoi! Kalian – kalian semua yang duduk di gedung ini! Masihkah kalian punya hati untuk memapahku untuk kembali?! Bukankah kalian yang telah mengajakku kesini?! Kenapa kalian semua masih tak mau mendengar suaraku ?! Jika aku yang didalam gedung ini suaranya tak kalian dengar, bagaimana kalian akan mendengar suara yang ada diluar gedung ?! Apa kalian telah bisu ?! Masihkah kalian akan menjadi penakut seperti para pendahulu?!” Tak ada yang bicara. Ah , ternyata aku benar – benar sendiri disini.
Dalam kepedihan batin digedung itu, aku hanya dapat menangis, mendampingi kursiku yang tetap akan membisu. Ketika aku dapat kembali duduk, aku masih juga ,merasakan kesendirian. Pak Lurah bersama orang – orang terdekatnya hanya termangu, saat melihtku keluar dan meninggalkan gedung itu. Semua aktribut kutanggalkan.
Diluar gedung, seorang satpam tergopoh – gopoh menyambutku. Ia terburu – buru ingin memapahku saat ia melihatku jaln sempoyongan.
“ Biarkan aku berjalan sendiri”, Kataku menepis niat baik satpam itu.
“ Tapi, Pak....”, Ujarnya sambil berupaya terus memapahku.
“ Kalau begitu, tasnya saja biar saya bawakan”, Ujar satpam itu membujuk.
“ Jika kamu mau membawakan tasku, apa kau jugasanggup akan membawakan dosa ketika aku nanti memptanggung jawabkan berkas – berkas dalam tas ini dihadapan Tuhan?”
Satpam bengong.
Aku mengeloyor pergi menuju pintu gerbang depan.
“ Ma”af, Pak, mobil bapak ada dihalaman belakang”, Tukas satpam itu memberitahu. Kucoba tersenyum kepad satpam itu. Ya , aku mampu tersenyum, tapi terasa getir, sama dengan gaji satpam di gedung itu yang tak cukup membiayai hidup.
Hari ini, aku memang harus pulang kedesa. Akan kutinggalkan semua persoalan digedung itu. Untuk apa aku harus berlama – lama di dalam gedung, duduk diatas kursi, jika aku tak bisa banyak berbuat untuk sebuah tanggung jawab?.
Niat kepulanganlu sampai juga ke telinga warga desa. Pagi baru menenggelamkan malam, para penduduk sudah berjajar di pinggir jalan, berbodong – bodong ingin menyambut kedatanganku. Beberapa hansip pun harus sibuk mengatur barisan, yang kurang beraturan. Suara peluit beberapa kali terdengar, sebagai tanda menertibkan barisan yang kurang rapi. Aku benar – benar diperlakukan seperti raja. Mereka menunggu seorang putra mahkota dari sebuah kerajaan yang hendak membagi – bagikan uang kepada rakyat. Pasti, ada kebanggaan tersendiri jika mereka berjabat tangan dengan-ku.
“ Ngeong....ngeong....ngeong”, Suara sirene menggetarkan setiap lekuk perdusunan. Warga desa makin tak sabar hendak melihat sosok seorang utusan daerah yang dulu hanya sebagai carik desa. Mereka saling dorong . Sambil melongokkan kepalanya dari kerumunan orang lainnya, agar bisa segera mungkin melihatku. Tapi suasana gembira dan keceriaan itu, seketika berubah menjadi sebuah kebisuan. Warga desa yang sebelumnya bercuap ria, meneriakakn yel – yel “ hidup wakil rakyat!”, pudar seketika. Mereka kemudian tertunduk dalam kedukaan, saat aku yang ditunggu – tunggu hadir dengan iringan sirene mobil jenazah. Dibarisan terdepan tampak jelas, fotoku terpampang. Dibelakangnya barisan mobilyang menyertai perjalananku sebagai penghirmatan terakhir. Dari balik jendela, tampak istriku menutupi kepala dengan kain hitam. Wajahnya sembab, menggambarkan sebuah kepedihan yang dalam. Masing – masing warga hanya termangu. Suasana pagi itu menjadi gagu. Mereka yang ada dipinggir jalan hanya saling pandang, lau menggelengkan kepala pertanda mereka tahu dengan persoalan apa yang telah merenggut nyawaku.
Baru, sehari setelah pemakamanku, sebuah harian pagi mengabarkan tentang peristiwa yang menimpaiku, sebuah judul besar tertulis dihalaman satu.” Tak mampu penuhi janji warga, potong lidah sendiri”. Pada akhir berita itu, dikutip tulisan akhir sebelum aku mengakhiri hidupku,’’ Ma”afkan saya tak mampu memnuhi kepercayaan warga desa. Saya benar – benar tak bisa banyak berbuat. Sekali lagi ma’afkan saya. Saya tak bisa bicara lagi”. Langit gelap. Kemarin, malaikatsudah dulu menyambutku, “ Selamat Pagi, Mr. Gagu”. Semua wargapun menjadi gagu, menunggu datangnya cahaya baru untuk sebuah perubahan. (*)
Magelang, 13 Februari 1998 (ditulis)
Palembang, 28 Oktober 1999 (revisi) Sumeks,
BANGKAI
Cerpen Imron Supriyadi
Aku masih tertunduk di depan cermin, menekuri tentang diri yang telah beralih rupa. Wajahku bukan lagi simbol dari sebuah kewibawaan, seperti ketika aku masih bertengger sebagai Presiden di pabrik terbesar. Saat itu, kekuasaanku sampai keluar lintas batas darat Sabang sampai Merauke. Senyum khas yang kumiliki, kini bukan lagi sebagai keramahan, yang setiap orang berjumpa, di situlah mereka harus sedikit menundukkan badan sebagai penghormatan terhadapku. Tuan Firjaw, begitu banyak orang memanggilku. Keluasan wilayah kekuasaanku, kini justru membenamkan aku ke dalam air comberan.
Petuahku yang dalam kurun waktu puluhan tahun sebagai ucapan ‘dewa kebenaran “, kini tak lagi mampu menjadi pengharum setiap perkampungan dunia. Malah sebaliknya, semua ucapanku, sudah menjadi barang busuk, yang setiap orang akan segera menutupi telinga dan hidung, agar tak mendengar dan mencium hawa mulut atau cipratan ludah yang keluar dari lipatan bibirku. Seluruh penghuni perdusunan, sepertinya memang benar – benar muntah setelah sebelumnya perutnya mual dalam beberapa menit ketika wajahku dipampang oleh wartawan di surat kabar dan televisi.
Sore kemarin, kucoba untuk berhias diri. Kubeli kosmetik ternama dengan harga miliaran rupiah hasil tunjanganku. Dari parfum kelas ratusan ribu sampai seharga se-unting daun kemangi yang harganya turut melonjak, ikut menjadi ramuan. Aku ingin kembali menjadi Tuan Firjaw yang dulu menjadi pewangi bagi setiap penghuni, yang dulu selalu di-elu-elukan jasa dan pengabdianku.
Sembari melumuri dan memandikan diri dengan perasaan daun kemangi, dalam batin, aku hanya berucap;
“Tuhan, seandainya aku tahu, kekuasaanku akan membawa petaka dalam perjalanan hidupku, aku akan memilih kemiskinan sebagai tiang dalam rumahku. Kalau saja aku mengetahui semua ini akan menimpaku, aku akan menjadi tanah atau gunung, yang hanya akan patuh dan tunduk dengan semua perintah dan kekuasaan-Mu”
Aku bersimpuh, menatap kembali cermin kecil yang berada dibalik nuraniku. Sesaat aku tersadar, bahwa ruang kecil, tempat berkumpulnya nurani itu telah lama tidak kusinggahi. Padahal, dari sanalah seharusnya semua kebijakan itu diputuskan. Semestinya, memang tempat itu yang menjadi sumber atau mata air dari semua kebijaksanaanku. Tapi begitu lama aku meninggalkan ruang kecil itu.
“Oh, hati nurani, kini memang aku harus kembali menyusuri dari awal untuk memasuki wilayah itu. Meskipun aku, sekujur tubuhku, keringatku, darahku telah berlumur air air got yang berbau”.
Sekali lagi aku bersimpuh. Aku tak mampu lagi menterjemahkan air mata yang tiba – tiba masih mau keluar dari muara kecil di mukaku yang makin keriput. Sulit kupilah, mana air mata penyesalan, mana air mata kepedihan dan air mata taubat. Semuanya berkumpul menjadi satu genangan, yang setiap penghuni negeri ini tak mau lagi kena cipratannya, meskipun para pengikutku masih ada sebagian yang menunggu kehadiranku kembali, meski aku harus menjelma dan menyulusup dalam tubuh lain.
Beberapa bulan kucoba untuk tetap bertahan diatas penghinaan dan cercaan massa yang tak kunjung pudar. Kukumpulkan kembali gumpalan daging yang sempat tercecer. Ada yang di permukaan air comberan. Ada yang menjadi satu dengan tumpukan sampah. Dengan susah payah kerenggut seluruh kekuatanku yang masih tersisa. Daging dan serat-serat tubuhku yang berserakan, kembali kurangkai. Lalu, kusewa darah para preman untuk membantu dalam menebar keharuman, sehingga kebusukan itu akan segera beralih pada muara yang lain.
“Brooooot!” Kuberaki Banyuwangi dengan darah dukun santet. Mayat terkapar. Ratusan dukun santet menebar kebusukan baru. Anyir darah diatas aspal Banyuwangi tercium ke setiap sudut perdusunan. Aku terkekeh girang. Tanpa sadar, sebenarnya aku telah kembali meninggalkan kemuliaan muara nurani. Sebuah pertikaian baru segera bermula. Para penghuni negeri memendam beragam kebencian, meskipun mereka juga bingung tentang siapa yang mesti dibenci. Permainan kembali mencuat, terangkat di surat kabar dan kamera elektronik, menyebar keseluruh pelosok negeri.
Aku makin tertawa lebar saat pengikutku berhasil mengumpulkan puluhan orang gila yang sudah berlumur darah kambing hitam. Sedikit banyak, bau busukku lambat laun mulai reda, berpindah pada bau anyir darah dari Banyuwangi. Percekcokan antar bagian mulai terlihat. Sebuah pemandangan apik jika ini terus berkelanjutan, harapku dilubuk hati kelam.
Pergolakan darah dukun santet makin merambah kebeberapa kota. Sehingga aku punya waktu istirahat untuk memoles diri dengan cairan perasaan air kemangi, atau istirahat mandi pagi dengan parfum yang kubeli dengan harga miliaran itu. Sembari menyaksikan peperangan antar bagian, di setiap canel teve, kuundang seorang mantan kepala sekolah untuk segera menyusun administrasi baru sebagai kelanjutan dari permainan Banyuwangi.
Sore kian beranjak malam. Orang – orang sekitar terus sibuk dengan persoalannya masing – masing, sambil membersihkan puing – puing kerusuhan yang beberapa waktu lalu terjadi. Perlahan, bau busuk nafasku sedikit reda. Kali itu, rasanya ingin kuucapkan terima kasih pada sekumpulan orang gila yang telah menutupi bau busukku dengan darah kambing hitam. Mereka cukup berjasa dalam permainan ini. Tapi sayang, aku tak lagi berwenang memberi penghargaan putra terbaik bangsa dengan piagam bintang maha putera. Biarlah, toh mereka juga orang gila. Bagaimanapun piagam penghargaan juga tak akan menyembuhkan kegilaan mereka. Justru akan berbahaya jika mereka sadar bahwa mereka aku pecundangi. Jika ini terjadi sangat mungkin bau keringatku akan semakin busuk dari bulan sebelumnya.
Luka menganga telah merobek sudut negeri. Bau anyir darah, sepertinya tak mungkin aku akhiri sampai disini. Semuanya harus berlanjut sampai bau air comberan di tubuhku bisa kembali bau harum, meskipun hanya sebatas harumnya ketek WTS kelas teri.
Dari atap rumahku, kupantau kejadian – kejadian disetiap ujung gang, perkampungan, sampai di depan rumahku, yang ternyata masih terkepung oleh penjaga setia, meskipun aku tak tahu persisnya apakah mereka juga merasakan bau busuk keringatku atau tidak.
“Tuan Firjaw !”, mantan kepala sekolah itu tiba – tiba muncul tepat berada di bawah saat aku bertengger di atas rumah.
“Tuan jangan dulu memunculkan diri. Kondisi seperti sekarang belum cukup aman untuk memunculkan strategi baru. Turunlah! Istirahatlah kembali!.
“Istirahat itu urusan gampang! Apa yang kau katakan tentang genangan darah di Banyuwangi beberapa waktu yang lalu?.
“Beres Tuan! Semua sudah saya sampaikan kepada para wartawan bahwa kejadian itu hanya kriminal biasa. Tenang saja, Tuan! Semuanya sudah berjalan sesuai dengan skenario!”.
“Lantas apa rencanamu sekarang?” Aku menagih janji pada mantan kepala sekolah itu, setelah aku turun dari atap rumah.
“Saya memiliki beberapa pasukan ninja. Dan mereka bisa kita berdayakan, untuk permainan baru”.
Aku tenang sesaat.
“Bagus! Ternyata idemu tetap cermelang meskipun kau hanya mantan kepala sekolah”, Kataku memuji ide jitu yang dilontarkan orang terdekatku itu.
Pasukan ninjapun bergentayangan. Mereka membuat permainan baru di tengah kecemasan para penghuni negeri terhadap kondisi yang belum tenang. Kabar teror, telepon gelap terhadap para kiai memulai operasi ninja. Sehingga hampir seluruh perkampungan dilanda ketidaktenangan yang berkepanjangan. Satu - persatu gerakan ninja menumpahkan anyir darah. Lagi, mayat terkapat tanpa identitas. Cras! Cras! Pedang menyambar, darah tercurah, keringat telah menjadi darah.
Aku makin lupa diri dengan permainan ini. Ini harus berkelanjutan! Sebab, permainan ini, akan memancing surat kabar, sehingga mereka akan tersumbat, tidak lagi mencium bau busuk darah dan keringatku lagi.
Satu menit baru saja aku menarik nafas lega. Sebuah guncangan kembali menggegerkan pagar di sekitar rumahku. Aku terkesiap. Aku bangkit, menyingkap horden jendela. Tak kuduga, sekelompok orang masih tetap mencium bau busuk darah dan keringatku. Aku jadi nanar. Keringat dingin mengucur. Ia membasahi setiap lekuk tubuhku. Sesekali kuusap. Lalu kusemprot dengan parfum sekujur tubuh. Tapi bau busuk tetap saja menyengat keluar rumah. Tak ada jalan lain, mereka pasti kembali membenamkan aku ke air comberan.
“Ah, ternyata, daging dan sekujur tubuhku memang benar – benar telah membusuk! Ucapku, sembari berlari menuju kamar kecil.
Mungkin di sini, aku akan lebih aman. Mudah – mudahan mereka akan kesulitan membedakan bau busuk keringatku dengan bau busuk tinja”, Kataku sambil melumuri badan dengan tinja – tinja yang tersisa. Kini, orang akan susah membedakan aku dengan warna dan bau tinja. (*)
Rumah Kontrakan di Jl. Letnan Yasin - Palembang, 25 Mei 1998
(Tiga hari setelah Jatuhnya Rezim Soeharto 21 Mei 1998)
AYAM UNTUK TUAN BUPATI
Cerpen Imron Supriyadi
Satu pekan lagi, Menteri Peternakan akan berkunjung di Kabupaten Batanghari Sumatera Selatan. Tujuannya untuk meresmikan Gerakan Budidaya Ayam Sehat. Menurut Zaenal, Kepala Humas Pemkab Batanghari, program ini sebagai kampaye kalau di Kabupaten Batanghari tidak ada ayam yang terserang virus Avian Influensa alias Flu Burung. Sebab, maraknya informasi flu burung telah menurunkan penghasilan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Batanghari.
”Ini sekaligus untuk menjawab keresahan di masyarakat, yang selama dalam tiga bulan terakhir, sirkulasi penjualan ayam di pasar Induk mengalami penurunan drastis. Oleh sebab itu Bapak Bupati sengaja menggelar acara ini untuk memantapkan masyarakat, kalau di Kabupaten Batanghari tidak ada ayam yang terserang flu burung,”jelas Zaenal kepada wartawan.
Dalam acara ini, Dr. Muhammadin, Bupati Batanghari tidak ingin ada sesuatu yang memalukan. Sebab tiga bulan sebelumnya, Muhammadin sudah memaparkan kepada Pak Mentri tentang perkembangan peternakan di Kabupaten Batanghari.
”...Walaupun secara nasional sedang dilanda virus flu burung, tetapi di kabupaten kami, tidak ada peternak yang mengeluh apalagi resah akibat virus flu burung. Bahkan sesuai dengan laporan Dinas Peternakan, perdagangan ayam di pasar-pasar juga tidak mengalami penurunan. Tetapi walau kondisinya demikian, kami tetap berharap agar Pak menteri dapat hadir untuk mencanangkan program Geralan Budidaya Ayam Sehat di Batanghari,”jelas Muhammadin saat menghadap Menteri Pertanian.
Sepulang dari Jakarta, Bupati kemudian mengedarkan surat perintah yang berisi pengkondisian pedagang ayam di semua pasar se-Kabupaten Batanghari.
”Dalam rangka mewujudkan Gerakan Budidaya Ayam Sehat tahun 2008, maka bersama ini kami instruksikan kepada seluruh pedagang ayam di seluruh Kabupaten Batanghari, untuk membawa semua ayam ke lokasi acara tersebut. Mengingat, pada acara tersebut akan dihadiri oleh Bapak Syamsul Paralihan, Menteri Peternakan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada hari 23 Februari 2008, di seluruh pasar ditiadakan jual beli ayam.....”demikian salah satu petikan dari sekian mata ponit isi surat edaran dari Bupati Batanghari yang ditujukan kepada seluruh pedagang ayam.
Edaran surat Bupati itu, kontan saja menimbulkan banyak tanya di kalangan pedagang ayam. Sebagian setuju. Sebagian lagi mengeluh. Sebagian lagi biasa-biasa saja.
”Kalau ayam kito dibawa ke lokasi acara Pak Bupati, berarti Pak Bupati harus bayar semua ayam kito. Kalau idak, wah kito biso ndak makan,”cetus Pendi salah satu pedagang ayam di pasar Induk.
”Bener nian Cek!. Kito harus minta ganti rugi walau hanya sehari. Sebab anak bini kito nak makan apo kalau kito ndak dagang!”sergah yang lain.
”Kalau mak itu, sore agek kito kumpulke seluruh pedanag ayam. Kito tanyoke samo pemda, siapo yang nak bayari ayam-ayam kito!”
”Oi, jangan rame-rame. Gek kito dianggep nak demo pulo! Kalau demo ndak izin samo polisi gek kito ditangkep galo,”ujar Sam khawatir. Sam memang punya pengalaman ditangkap polisi saat demo anti penggusuran pasar oleh Polisi Pamong Praja akibat tidak izin pada kepolisian. Oleh sebab itu, penahanan tiga hari tiga malam di kepolisian masih menjadi trauma bagi Sam.
”Kau ndak usah takut Sam! Kito ini banyak. Kalu kito dikit mungkin gampang dibabas bingkas samo polisi. Tapi kalau kito banyak dan nyatu, kito lawan bae. Ngapo mesti takut. Kito kan ndak salah!”tegas lainnya memberi semangat pada Sam.
”Kalau aku biarlah idak dagang sehari. Yang penting aku biso ketemu samo Pak Mentri. Aku nak salaman samo Pak Menteri, samo Bupati,”kata Pri yang pernah menjadi tim sukses Muhammadin waktu Pilkada empat tahun lalu.
Empat hari sebelum acara tiba, ratusan pedagang ayam sudah memenuhi halaman Kantor Pemkab Batanghari. Ada sekitar 20 mobil bis 2/3 yang mereka gunakan. Diantara bis ada yang di pasang spanduk bertuliskan ”Ayam kami lebih mahal dari pada kunjungan Pak Mentri”. ”Ayam kami Bukan Gratisan”. Dan masih banyak lagi spanduk terbentang dengan tulisan bernada protes.
”Saudara-saudara tidak usah khawatir. Semua ayam yang akan dibawa ke lokasi acara Pak Bupati, semua akan diganti dengan harga yang disesuaikan!”jelas wakil Bupati, didampingi Ketua DPRD dan beberapa aparat pemerintah lainnya.
”Disesuaikan itu berapa, Pak!?”teriak salah satu pedagang.
”Pak Bupati sudah berjanji. Jadi tidak usah ditanya berapa. Pak Bupati sangat mengetahui berapa harga jual ayam saat ini. Oleh sebab itu, sekali lagi semua para pedagang tidak perlu khawatir tidak mendapat uang pengganti. Pokoknya, pada hari Ha nanti, semua ayam harus dikerahkan di lokasi Gerakan Budidaya Ayam Sehat, tanpa terkecuali. Pak Bupati tidak ingin malu pada Pak Mentri. Sebab Pak Bupati sudah bicara dengan Pak Mentri, kalau di lokasi akan ada Seratus Ribu ayam”.
Hari yang dinanti-nanti Bupati tiba. Pak Mentri sudah berada di rumah dinas Bupati. Semua tikungan jalan yang akan dilalui Pak Menteri dan Bupati sudah dijaga ketat. Jalur angkutan kota dan bis dialihkan. Ini ditujukan agar perjalanan Pak Menteri dan Bupati tidak mengalami hambatan. Polisi Pamong Praja siaga penuh di beberapa pasar, guna menjaga padagang ayam yang tidak menaati aturan Pemerintah hari itu.
Sementara, ratusan pembeli hari itu sama sekali tidak mengetahui adanya pengerahan ayam ke lokasi acara Bupati dan Menteri Peternakan. Tak ada satu potong ayam pun di pasar. Ratusan pembeli mulai gelisah. Apalagi yang sedang perlu untuk melakukan acara pernikahan dan syukuran kelahiran anaknya.
”Pak, kenapa hari ini tidak ada pedagang ayam yang berjualan?”tanya Surti, salah satu pembeli kepada aparat Dinas Pasar.
”Wah, ibu ini apa tidak tahu. Hari ini semua ayam dikerahkan di tempat acara Pak Bupati. Di sana juga ada Menteri Peternakan, Bu. Makanya baca koran, Bu,”jawab aparat tanpa beban.
”Saya ini tanya soal ayam! Malah nyuruh baca koran! Jadi kalau kita mau membeli ayam bagaimana, Pak?”
”Hari ini tidak ada jual beli ayam. Besok saja, Bu,”jawab aparat.
”Butuhnya kan sekarang, bukan besok. Bapak ini bagaimana?!”sergahnya kesal.
”Bu, kalau ibu mau ayam hari ini, ambil saja ayam di tempat acara Pak Bupati. Itu kalau ibu berani,”ujar aparat lagi.
”Kami semua ini butuh ayam! Siapa tidak berani datang ke tempat Pak Bupati?!”
”Eee..jangan ke sana Bu. Nanti kami yang kena semprot!”aparat ketakutan.
Tapi larangan aparat tak juga diindahkan. Mereka kemudian konvoi menuju lokasi acara. Walau harus menempuh perjalanan satu jam, ratusan pembeli terpaksa menyewa mobil untuk mendatangi Bupati untuk membeli ayam. Sebuah barisan panjang menyusuri jalan protokol dan perdusunan di Kabupaten Batanghari. Ada sekitar 10 sampai 15 bis 2/3 yang sengaja disewa untuk mendatangi lokasi pencanangan Gerakan Budidaya Ayam Sehat.
”Pokoknya hari ini aku harus dapat ayam. Kalau tidak, acara pernikahan besok bisa kacau,”ujar salah satu pembeli yang sejak berangkat sudah kesal.
”Aku jugo!”tambah lainnya lagi.
Tiba di lokasi, acara sudah selesai. Pedagang ayam dan para tamu sudah bubar. Tak ada satu ayam pun di lokasi. Ratusan pembeli ayam makin kesal.
”Bu, ayamnya sudah dibeli sama Pak Bupati semua. Jadi hari ini tidak ada ayam yang dijual untuk masyarakat,”kata salah satu aparat menjelaskan kepada pembeli.
”Masak sih Bupati mau makan puluhan ribu ayam. Saya hanya butuh 10 ekor,”ujar yang lain.
”Saya 5 ekor!”
”Saya 2 ekor!”
”Anak saya besok mau menikah. Jadi saya hari ini harus membeli 100 ekor ayam!”
”Bu, tadi kan sudah saya katakan. Semua ayam sudah dibeli sama Pak Bupati. Jadi silakan ibu minta sama Pak Bupati saja, kalau berani!”
”Hei! Jangan nantang ya. Jangankan Bupati, Gubernur pun saya lawan. Saya ini sekarang sedang butuh. Jangan gara-gara acara dagelan seperti ini, kemudian menelantarkan rakyat kecil. Bupati itu ada karena ada rakyat seperti kami, ngerti?!”
”Sekarang kita ke rumah Bupati saja. Saya harus dapat ayam hari ini!”
Ajakan itu spontan saja diikuti ratusan pembeli yang lain. Sementara para pedagang ayam tengah menunggu uang ganti dari Bupati. Termasuk pedagang ayam yang tidak hadir, semua datang ke rumah Bupati guna menagih janji Bupati.
Seiring dengan itu, para pedagang ayam menyaksikan langsung penobatan Muhammadin, Bupati Batanghari sebagai Bapak Budidaya Ayam Sehat Indonesia. Tepuk riuh pun menyeruak di halaman kediaman Bupati. Sebuah plakat diserahkan oleh Pak Menteri kepada Bupati. Wartawan jeprat-jepret mengabadikan foto Bupati dan Pak Menteri. Usai penyerahan, Pak menteri langsung terbang ke Jakarta. Sementara, di tengah riuh redamnya kegirangan para pejabat Pemkab Batanghari, ratusan pedagang ayam masih harap-harap cemas menunggu uang ganti dari Bupati.
Belum sempat ada penyerahan uang pengganti ayam, ratusan pembeli sudah merangsek ke rumah dinas Bupati. Halaman rumah dinas Bupati berubah menjadi pasar ayam. Ratusan pembeli sudah bersiap-siap mengeluarkan uang untuk membeli ayam.
”Pak, Bu, maaf nian. Hari ini semua ayam kami sudah dibeli sama Pak Bupati. Jadi ndak biso nian kalau ibu nak beli sekarang,”jelas pedagang kepada pembeli.
”Saudara-saudara, sebelumnya minta maaf. Penggantian uang ayam bapak dan Ibu tidak bisa dilakukan hari ini, tetapi.....,”kalimat itu terputus, ketika ratusan pedagang berteriak ”Uuuuuuuuuuuuuh. Bupati pembohong!”
”Bukan pembohong, tetapi hanya soal waktu saja,”jelas aparat Pemkab.
Masa yang sudah panas tak bisa di bendung. Aparat kuwalahan. Ratusan pedagang, pembeli ayam sempat saling dorong dengan aparat. Salah satu diantara mereka memberanikan diri melempar ayam ke dalam rumah dinas Bupati. Lemparan pun disusul oleh pedagang ayam lainnya. Ayam-ayam pun beterbangan. Sampai akhirnya Bupati keluar. Tetapi lemparan ayam tak juga berhenti. Puluhan aparat mencoba menghindarkan ayam dari tubuh Bupati. Tetapi karena terlalu banyak, tak sanggup juga mengatasi ayam-ayam yang terus beterbangan ke arah Bupati. Ratusan ribu ayam akhirnya membenamkan tubuh Bupati. Hingga aku dan pedagang lainnya sulit membedakan antara ayam dan Bupati.(*)
Tanjung Enim, 17 Juni 2007 - Februari 2008
PEREMPUAN YANG MENIKAH DENGAN ANJING
Cerpen Imron Supriyadi
Cik Pay. Begitu orang banyak memanggil perempuan itu. Wajahnya putih. Rambutnya mayang mengurai. Dagunya seperti lebah bergantung. Jalannya seperti harimau lapar; gemulai. Alisnya nanggal sepisan; seperti semut berbaris yang mendapat aba-aba Nabi Sulaiman. Sorot matanya bak rembulan terang di malam lima belas purnama. Setiap lelaki yang menatapnya akan tertunduk oleh keteduhan pandangannya. Ucapannya bisa meluluhlantakkan gemuruh dan emosi yang menggumpal. Itulah Cik Pay yang kukenal di kampung kami.
Cik, adalah panggilan bagi warga keturunan rumpun melayu. Bagi marga Besemah Sumatra Selatan, Cik menjadi panggilan bagi bibi, tante atau paman. Tetapi di kampung kami, panggilan Cik bagi perempuan itu tak punya sejarah dengan rumpun melayu. Hanya karena kebiasaan warga saja sehingga setiap perempuan dewasa yang belum dikenal namanya sering di panggil Cik. Ini sama halnya warga suku jawa yang memanggil mbak bagi perempuan yang baru dikenalnya. Sementara di kampung kami, Pay adalah nama belakang anjing yang enam bulan lalu patah kaki akibat tergilas sebuah mobil. Anjing itu terguling-guling di aspal. Tetapi mobil terus melaju tak pandang kasihan terhadap penderitaan Pay.
“Kaing! Kaing!” lolongan anjing itu menembus ruang-ruang kosong diantara suara derum mesin mobil di jalan Sudirman Palembang. Ada jeritan yang menyayat akibat menahan rasa sakit. Tetapi tak sesiapa yang kemudian menolong, ketika kemudian anjing itu tergelepar di bawah trotoar. Perempuan yang kemudian dipanggil Cik Pay secara tiba-tiba muncul dari kerumunan orang. Cik Pay adalah salah satu pelacur yang tinggal di kampung kami. Tak ada beban sedikit pun ketika Cik Pay kemudian mengambil anjing itu dan dibawanya ke rumah. Sejak perempuan itu merawat dan memelihara anjing, akhirnya warga banyak memanggil perempuan itu dengan Cik Pay, alias bibi-nya anjing Pay. Tapi anehnya, julukan itu disambut dengan senyum. Tak ada rona yang menggambarkan dirinya dihempas keterhinaan dengan sebutan; bibi anjing.
Ulah aneh Cik Pay ini kontan saja menjadi perbincangan warga di kampung kami. Tak urung juga, keanehan Cik Pay yang membawa anjing ke rumahnya di dengar para tokoh masyarakat, agama dan unsur pemerintah. Bahkan kampung sebelah juga turut memperbincangkan Cik Pay. Satu hari setelah kejadian, warga merangsek ke rumah kepala lingkungan di kampung kami.
”Saudara, saudara! Kelakuan Cik Pay di kampung ini menjadi pertanda, bahwa di kampung kita akan segera datang musibah besar. Oleh sebab itu, saya selaku kepala lingkungan akan segera memberi teguran kepada Cik Pay, sebagaimana permintaan warga,” ujar War, berpidato di hadapan warga, menanggapi perilaku Cik pay.
Di kampung kami, anjing dianggap binatang najis. Oleh sebab itu, tak ada anjing yang bisa keluar dengan selamat dari kampung kami. Sudah pasti, setiap anjing yang masuk akan menjadi bangkai. Sampai saat ini tak banyak warga yang mengetahui latarbelakang, mengapa anjing begitu dibenci di kampung kami. Tetapi sebagian warga mengatakan, kebencian warga terhadap anjing di kampung kami, dilatari oleh sejarah pertikaian anjing dan kucing. Sebagian tokoh agama menyebut, kucing adalah mahluk yang sangat dikasihi nabi. Sementara dalam sejarah, hampir tidak ada cerita damai antara anjing dan kucing. Keduanya selalu berkelahi. Dengan sejarah itu, kemudian sebagian warga menterjemahkan; membiarkan anjing di kampung kami, sama halnya memelihara musuh kucing yang sangat dikasihi nabi.
Protes warga di kampung kami memang terasa aneh. Di saat Cik Pay memelihara dan merawat anjing yang cacat, mendapat hujatan warga. Tetapi warga di kampung kami tidak pernah protes terhadap film Tom and Jerry, yang mempertontonkan kucing yang selalu menjadi bulan-bulanan sekelompok tikus. Padahal penghinaan kucing dalam film ini lebih ideologis ketimbang sekedar protes pada Cik Pay. Tetapi aku kemudian cukup maklum. Sebab, meskipun dalam otak manusia berisi angka, huruf dan simbol, tetapi hanya 20 persen sebagian manusia yang bisa menangkap simbol-simbol, apakah kehinaan dan simbol keagungan. Sehingga simbol kehinaan kucing dalam film Tom and Jerry tak juga menjadi perhatian warga.
Kebanyakan warga di kampung kami lebih melihat sesuatu dari satu sudut pandang, sehingga yang muncul bukan makna dibalik simbol, tetapi hanya angka dan huruf. Oleh sebab itu, ketika melihat Cik Pay memelihara anjing yang sakit, kontan saja menimbulkan sinisme warga. Masalahnya sederhana, sebagian warga di kampung kami hanya melihat dari kenyataan yang didepan mata. Tak pernah diantara warga kampung kami mencoba melihat dai sudut pandang yang berbeda, apalagi harus menggunakan teori berpikir memutar, melihat dibalik simbol dari Cik Pay dan anjingnya.
Hanya tiga hari Cik Pay berhasil mempertahankan anjing di rumahnya. Setelah itu Cik Pay tak kuasa menahan desakan warga yang meminta agar anjing piaraannya harus segera dibuang. Sebagian warga meminta agar Pay segera dibunuh. Tetapi Cik Pay keberatan.
“Sekarang pilih, anjing itu harus kami bunuh, atau kamu berdua yang keluar dari kampung kami!” ujar warga setengah mengusir.
“Kamu tetap boleh tinggal di kampung kami, tetapi Pay harus mati!” kata lainnya.
Perilaku warga di kampung kami terhadap Cik Pay, mengingatkan aku pada persitiwa serupa ketika aku masih tinggal di India. Tepatnya di Distrik Jaipur, India Timur. Bedanya, kalau di kampung kami sekarang, anjing dan perempuan yang merawatnya diperlakukan hina. Tetapi di negara bagian Orissa, India Timur itu justru terjadi pernikahan antara Sagula, bayi laki-laki berumur 2 tahun dan Jyoti, seekor anjing lokal. Yang aku tahu, pernikahan Sagula dan Jyori adalah bagian tradisi dari adat Suku Munda. Menurut tradisi mereka, pernikahan Sagula dengan anjing, kelak ketika Sagula dewasa akan terlindungi dari serangan binatang liar, seperti harimau dan sejenisnya. Tapi meski sudah menikah dengan Jyoti, Sagula tetap akan bisa menikah dengan perempuan yang dicintainya tanpa harus bercerai dengan Jyoti. Dengan pernikahan ini, penampilan Sagula diyakini akan membuat binatang liar, seperti harimau, takut menyerangnya. Para dewa dari suku juga akan memberkati dan melindungi Sagula roh jahat.
”Kami melakukan perkawinan ini untuk menghalau segala kutukan yang menimpanya dan kami,” ujar Sanarumala Munda, ayah Sagula. Bayi yang baru tumbuh gigi ini digiring ke sebuah kuil desa, di sana seorang pemuka agama mengawinkannya dengan Jyoti, anjing milik tetangga pengantin laki-laki.
Peristiwa serupa terjadi pula ketika aku berkunjung ke Dhanbad. Masih di India. Seorang gadis berusia 7 tahun warga kota pertambangan Dhanbad, Negara Bagian Bihar, India Timur, menikah dengan seekor anjing liar. Ini adalah bagian dari ritual untuk melenyapkan pengaruh buruk yang ada dalam dirinya. Adanya ciri-ciri khusus pada susunan geligi Shivam Munda, bocah perempuan itu. Dianggap oleh orang-orang suku Santhal, sebagai pertanda buruk. Kundan Munda, ibu Shivam mengatakan, anaknya menikah dengan anjing hanya untuk menghilangkan kekuatan jahat yang bisa menyebabkan kesialan. Ritual menikah dengan anjing harus dilakukan agar kelak ia bisa menikah dengan seorang laki-laki. Seperti pernikahan biasa, antarwarga suku Santhal, perkawinan Shivam Munda dengan seekor anjing geladak juga berlangsung sampai 3 hari-3 malam dan dihadiri segenap kerabat, teman dan handai taulan.
Terhadap Cik Pay, aku tidak tahu persisnya apakah dia juga akan menjalani ritual yang sama dengan Sagula dan Shivam Munda atau tidak. Tetapi, yang aku lihat, kedekatan Cik dan Pay sudah mirip kasih sayang antara suami dan isteri. Seolah keduanya saling membutuhkan. Cik Pay tak sedikitpun menghiraukan umpatan warga yang melihat jijik dengan ulah Cik Pay. Sampai warga menghujatnya, Cik Pay masih tetap dalam pendiriannya; mengasihi dan menyanyangi Pay, anjingnya.
Pay masih dalam gendongan Cik Pay. Beberapa kali Cik Pay mengelus bulu-bulu anjing itu. Elusan tangan Cik Pay, seperti jelmaan tangan Tuhan yang selalu menebar Rahman dan Rahim terhadap hamba-Nya. Tetapi itu tak tampak diantara detak jantung emosi warga. Justru pancaran kasih sayang Cik dan anjingnya terbinar di antara kegersangan batin di sebagian warga.
“Kalian tidak pernah berpikir, seandainya kalian bernasib seperti Pay sekarang?” Cik Pay mulai bicara.
“Kalian berniat membunuh Pay, padahal sebenarnya kalian tidak punya hak sedikitpun untuk mencabut nyawa setiap mahluk, walau seekor nyamuk sekalipun!”
“Alaaah, kamu itu lonthe, tidak usah ceramah! Kamu dan anjing sama saja!”
”Sudah, sekarang lemparkan anjing itu, dan kamu bisa tidur nyenyak, supaya nanti malam kamu bisa melayani banyak laki-laki,” tukas warga lainnya, ditingkahi gelak tawa secara spontan.
Cik Pay beranjak masuk. Warga terdiam sesaat. Tak lama, Cik Pay keluar membawa sebuah, tas, kardus dan plastik pelindung hujan. Beberapa warga berbisik. Sebagian warga menganggap Cik Pay sudah gila oleh anjing peliharaannya, sampai akhirnya sanggup berkorban hanya untuk seekor anjing.
“Mau kau apakan, anjing itu?”
”Bukankah kalian yang meminta agar aku dan anjingku ini keluar dari kampung ini? Aku akan turuti keinginan kalian, tapi dengan satu syarat, kalian tidak boleh membunuh anjing ini,” kata Cik Pay, sambil melangkah pergi meninggalkan kerumunan.
”Dasar perempuan sinting! Anjing dipelihara!”
Sejak Cik Pay pergi, warga kampung sedikit reda. Ada sekitar satu pekan warga kampung kami tidak lagi meributkan Cik Pay. Tetapi masuk dua pekan, kabar tentang perilaku Cik Pay terdengar lagi oleh sebagian warga. Cik Pay menyembunyikan anjingnya di pojok gerobak bekas pedagang bakso yang sudah rusak. Dengan penuh kasih dan sayang, Cik Pay merawat anjingnya. Menurut warga yang melihat, setiap malam, siang dan sore Cik Pay selalu mengunjungi Pay dan mengantar makanan. Warga di kampung kami makin heran dengan ulah Cik Pay.
“Kelakuannya makin yang tak masuk akal!”
“Jangan-jangan, Cik Pay sudah benar-benar gila!”
“Mungkin karena anjingnya lai-laki, gantinya suami ya anjing itu!”
Banyak nada ejekan dan hinaan yang menimpa Cik Pay. Tapi Cik Pay tetap keukeh merawat anjingnya. Tak peduli dengan cercaan warga. Toh, di mata Cik Pay, warga kampong kami tidak mengetahui ungkapan hatinya. Inilah kelemahan sebagian warga kampong kami. Melihat kenyataan sosial hanya dari pandangan lahir. Tidak pernah membaca dan menggali data-data ghoib atas kejadian di alam dan sekitarnua.
Memasuki bukan kedua, Cik Pay kembali ke kampung kami. Kali ini Pay tidak dibawa. Cik Pay tahu persis, kalau anjing peliharaannya dibawa akan kembali mengundang reaksi warga. Tetapi setiap ba’da maghrib, Cik Pay selalu keluar rumah. Ada bungkusan plastik hitam ditangannya. Sebongkah nasi dan sepotong ikan asin ia sediakan untuk anjingnya.
Tak urung juga warga kian hari penasaran terhadap ulah Cik Pay. Sebagian warga membuntuti dari belakang. Mereka ingin membuktikan cerita tak masuk akal tentang Cik Pay. Sebagian warga kampung kami kian hari justru kian sakit dengan dirinya sendiri. Sibuk mengurusi pekerjaan Cik Pay, sementara dirinya tidak pernah diurusi. Mencari-cari kelemahan Cik Pay yang kemudian mereka anggap merawat anjing yang terkena musibah dianggap sebuah tindakan yang hina.
Hanya dari jarak yang dekat, sebagian warga kampung kami melihat langsung bagaimana Cik Pay membelai anjingnya. Persis seperti ketika Cik Pay dihadapan warga satu bulan sebelumnya. Ia belai anjingnya dengan kasih sayang. Melihat kejadian itu, warga makin bingung. Tetapi Cik Pay tidak ambil pusing. Sejak Pay terhempas oleh sebuah mobil, kini Cik Pay kemudian punya dua pekerjaan. Selain menjadi pelacur, ia kini menjelma menjadi pemelihara anjing, seklaigus ibunya, yang setiap saat dengan setia memberi makan dan menadikannya.
Cik Pay melihat langit mendung malam itu. Ini tak baik bagi Pay. Diam-diam, Cik Pay membawa anjingnya pulang. Tak salah memang. Sesampai di rumah, hujan deras mengguyur kampung. Angin begitu kencang menerpa. Sesekali suara gemuruh terdengar, bersaamaan dengan riuh redamnya jutaan tetesan air dari langit. Pay dalam pelukan Cik Pay. Selembar kain ia bentangkan di tubuh Pay. Dengan penuh kasih dan saying, Cik memeluk anjing itu. Persis seperti seorang ibu yang tidak ingin anaknya masuk angina karena kedinginan.
Pagi harinya, warga berkerumun. Ada beberapa pohon tumbang akibat terpaan angin kencang tadi malam. Tak ada korban. Tetapi rumah beberapa warga sempat porak poranda. Sebagian warga ingatannya kembali pada Cik Pay dan anjingnya.
“Benar yang pernah dikatakan Pak War! Selama Cik Pay dan najingnya masih hidup, kampung ini tidak akan tenang. Sekarang hujan dan angin, besok mungkin banjir!” kata warga emosi.
“Tidak ada pilihan lain, Cik Pay kita usir dan anjingnya harus kita bunuh!”
Warga kampung kami secara serentak mendatangi rumah Cik Pay. Tak di sangka, Cik Pay sudah di depan rumah. Seolah ia mengetahui tentang rencana warga pagi itu. Cik Pay dengan kasih sayang masih menggendong Pay. Bulunya mulai halus. Kakinya mulai pulih walau harus berjalan pincang.
”Hei, bibi anjing! Sebenarnya apa maumu?!”
”Mestinya kamu pelihara laki-laki jadi suamimu, dari pada memelihara anjing kurap seperti Pay?!
Cik Pay hanya memandangi beberapa warga secara bergantian. Tak ada emosi yang terpancar dari wajahnya. Bahkan kecerahan tersemburat di wajah Cik Pay pagi itu. Beberapa warga saling pandang. Mereka heran dengan Cik Pay. Seperti tak ada rasa takut sedikitpun dengan ancaman warga.
“Dengar semuanya,” Cik Pay berdiri.
“Aku memelihara anjing ini seperti halnya kalian menyanyangi dan mencintai anak dan isteri,” katanya rendah.
”Hei! Jangan kamu samakan anjing dengan anak dan isteri kami!” protes warga.
”Aku, kalian, anjing ini, anak dan isteri kalian sama. Artinya sama-sama mahluk ciptaan Tuhan. Jadi, sesama mahluk kita tak punya hak untuk saling menyakiti, apalagi membunuh. Menyakiti mahluk di muka bumi, sama halnya kalian telah menyakiti yang menciptakan mahluk. Kalian membenci anjing ini, sama halnya kalian telah membenci yang menciptakan anjing. Alasanku memelihara dan merawat anjing ini hanya satu...” ucapan Cik Pay terhenti.
Sebagian warga hanya saling pandang. Mereka masih menunggu kalimat lanjutan dari mulut Cik Pay.
”Aku merawat anjing ini, karena aku cinta dengan yang menciptakan anjing. Aku memelihara anjing ini, karena aku cinta dengan yang menciptakan mahluk. Aku tidak ingin melihat anjing ini kesakitan. Membiarkan anjing ini kesakitan, sama halnya kita telah menyakiti yang menciptakan anjing. Aku tidak membalas amarah kalian, karena kalau aku membalasnya, itu sama saja aku sedang menghujat yang menciptakan kalian! Sama halnya aku telah menebar amarah terhadap yang menciptakan kalian!” kalimat Cik Pay tak bisa terbendung lagi. Ucapannya menggelontor bagai Dam air yang jebol. Suara Cik Pay terus membanjiri relung-relung kegersangan batin warga.
Warga termangu. Suasana menjadi hening. Tak ada amarah. Tak ada hinaan. Ada kerinduan dan cinta yang kemudian menyeruak di setiap batin warga. Sementara Cik Pay dan anjingnya sudah hilang di balik pintu rumahnya. Warga kemudian bergegas ingin masuk. Tetapi sampai di dalam rumah, tak dijumpai lagi Cik Pay dan anjingnya. Warga tak tahu kemana Cik Pay dan anjingnya pergi. Ia hilang bagai ditelan bumi.(*)
BTN Krg.Asam,
Tanjung Enim, 5 Desember 2008