MENCARI SOLUSI PENGAJARAN SASTRA INDONESIA



Oleh: Mukhlis A. Hamid, M.S

1. Pendahuluan
Pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal dari hari ke hari semakin sarat dengan berbagai persoalan. Tampaknya, pengajaran sastra memang pengajaran yang bermasalah sejak dahulu. Keluhan-keluhan para guru, subjek didik, dan sastrawan tentang rendahnya tingkat apresiasi sastra selama ini menjadi bukti konkret adanya sesuatu yang tak beres dalam pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal. Hasil wawancara bebas dengan para guru bahasa dan sastra Indonesia dalam berbagai kesempatan selama ini menunjukkan bahwa secara umum, keluhan-keluhan dalam pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal berkisar pada hal-hal berikut.

Pertama, pengetahuan dan kemampuan dasar dalam bidang kesastraan para guru sangat terbatas. Materi kesastraan yang mereka peroleh selama mengikuti pendidikan formal di LPTK sangat terbatas. Materi kuliah kesastraan yang mereka peroleh lebih bersifat teoretis, sedangkan yang mereka butuhkan di lapangan lebih bersifat praktis. Kedua, buku dan bacaan penunjang pembelajaran sastra di sekolah, khususnya di SLTP dan SMU juga terbatas. Keterbatasan buku penunjang ini tidak terjadi di SD karena hampir semua SD, di daerah perkotaan khususnya, setiap tahun menerima kiriman buku bacaan dari Proyek Perbukuan Nasional Depdikbud. Cuma saja, pemanfaatan buku bacaan tersebut tampaknya belum maksimal karena ada faktor lain yang berkait dengan ini, yaitu faktor minat siswa atau subjek didik. Minat belajar dan minat membaca para siswa masih sangat rendah. Faktor ketersediaan waktu, manajemen perpustakaan sekolah, dan dorongan dari guru menjadi penyebab utama dalam hal ini.
Berbagai kendala di atas menyebabkan pengajaran sastra di berbagai jenjang pendidikan formal hingga saat ini belum mencapai sasaran sebagaimana yang diharapkan. Tujuan akhir pembelajaran sastra, penumbuhan dan peningkatan apresiasi sastra pada subjek didik belum menggembirakan. Tulisan ini mencoba mengulas secara ringkas akibat yang muncul dari berbagai faktor di atas beserta alternatif pemecahan untuk kita diskusikan lebih lanjut. Hal ini tentu saja dimaksudkan untuk mencoba mencari titik temu dan kesamaan persepsi kita ke arah peningkatan kualitas pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal pada masa yang akan datang.
2. Pengajaran Sastra di Lembaga Pendidikan Formal: Terasa Ada Terucapkan Tidak
Beranjak dari berbagai keluhan yang dikemukakan di atas, tampaknya ada beberapa hal yang tampaknya perlu dicermati ulang dalam pembelajaran sastra di sekolah dengan menggunakan acuan kurikulum yang diberlakukan saat ini. Pertama, dalam Kurikulum 1994 yang diberlakukan di SD, SLTP, ataupun SMU disebutkan bahwa pengajaran sastra dalam berbagai aspeknya diarahkan pada penumbuhan apresiasi sastra para siswa sesuai dengan tingkat kematangan emosionalnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran sastra idealnya diarahkan pada penumbuhan apresiasi pada siswa. Apresiasi sebagai sebuah istilah dalam bidang sastra dan seni pada umumnya sebenarnya lebih mengacu pada aktivitas memahami, menginterpretasi, menilai, dan pada akhirnya memproduksi sesuatu yang sejenis dengan karya yang diapresiasikan. Karena itu, kegiatan apresiasi tidak hanya bersifat reseptif: menerima sesuatu secara pasif. Tetapi, yang lebih penting, apresiasi juga bersifat produktif: menghasilkan sesuatu secara aktif. Karena itu, pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal idealnya tidak hanya sebatas pada pemberian teks sastra dalam genre tertentu untuk dipahami dan diinterpretasikan oleh siswa (apresiasi reseptif). Pengajaran sastra harus diarahkan pada penumbuhan kemampuan siswa dalam menilai atau mengkritik kelebihan dan kekurangan teks yang ada dan akhirnya, berdasarkan penilaian/kritik tersebut, siswa mampu membuat sebuah teks lain yang lebih bermutu, baik teks yang segenre ataupun tidak.
Mungkin ada di antara kita yang menganggap apa yang diuraikan di atas terlalu ideal, hanya ada dalam angan, tetapi sukar ditemukan di alam nyata. Bagaimana mungkin guru, sebagaimana disebutkan pada bagian awal tulisan ini, yang pengetahuan dan kemampuan dasar kesastraannya sangat terbatas diminta untuk mengajar siswa menghasilkan kritik teks dan bahkan menghasilkan karya sastra dalam berbagai genre. Dalam hal ini, ada dua alternatif yang mungkin dapat dipilih. Pertama, secara personal kita harus menyadarkan diri sendiri bahwa kita secara sadar sudah memilih profesi guru sebagai pekerjaan. Sebagai seorang guru seharusnya kita mengetahui sedikit lebih banyak daripada murid atau subjek ajar. Penyadaran diri ini memacu kita untuk menambah wawasan dan keterampilan dalam bidang yang kita ajarkan secara otodidak. Kedua, kita hanya berperan sebagai organisator dan fasilitator dalam pembelajaran, sedangkan nara sumber bagi anak didatangkan dari luar. Guru dalam hal ini mengundang atau mengajak sastrawan ke sekolah pada waktu tertentu. Bila perlu dan memungkinkan sekali waktu siswa dibawa langsung ke tempat pagelaran sastra. Kesempatan ini dapat digunakan juga untuk berdialog secara langsung dengan sastrawan sehingga secara tidak langsung menumbuhkan kemampuan apresiasi sastra siswa melalui kegiatan yang lebih bersifat produktif di samping yang bersifat reseptif. Langkah ini sekaligus dapat digunakan untuk meninggalkan pemikiran dan strategi “loncat sajalah” dalam pembelajaran sastra di sekolah.
Kedua, ketiadaan buku dan bacaan penunjang pembelajaran sastra di sekolah menyebabkan pelaksanaan pembelajaran aspek sastra menjadi tidak berimbang dengan aspek bahasa. Dalam kurikulum yang sudah disempurnakan saat ini pun materi ajar sastra masih terintegrasi dengan materi kebahasaan karena pelajaran khusus yang bernama “sastra” tidak ada. Yang ada hanyalah pelajaran Bahasa Indonesia atau pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Dalam bagian Rambu-Rambu Pembelajaran dalam kurikulum sebenarnya disebutkan bahwa pengajaran aspek bahasa dan sastra dilaksanakan secara berimbang. Malah, dalam kurikulum pun disebutkan bahwa melalui pendekatan integratif yang dikembangkan saat ini, materi ajar sastra dapat digunakan untuk mengajarkan materi kebahasaan dalam berbagai aspeknya kepada siswa. Bukankah teks sastra dapat dimanfaatkan untuk mengajar kosakata, lafal, kalimat, paragraf, keterampilan membaca, keterampilan menulis, keterampilan berbicara, dan sebagainya.
Kendala ketiadaan buku dan bahan penunjang pembelajaran yang dikeluhkan selama ini sebenarnya dapat ditanggulangi melalui beberapa cara. Pertama, pemanfaatan media massa tercetak, seperti koran harian, mingguan, tabloid, dan majalah yang memuat karya sastra. Sekolah dapat berlangganan secara rutin koran atau majalah tertentu sesuai dengan kemampuan dana sekolah. Bila tidak memungkinkan, guru atau pihak sekolah membeli koran atau majalah tertentu pada hari, minggu, atau bulan tertentu sesuai dengan keperluan. Bila hal ini juga tidak memungkinkan, guru menugasi siswa untuk mencari secara personal atau kelompok teks sastra yang dipublikasikan di media cetak sesuai dengan topik yang diajarkan.Untuk publikasi lokal, harian Serambi Indonesia edisi hari Minggu dan mingguan Aceh Ekspress merupakan dua media yang dapat digunakan untuk itu.
Cara lain yang dapat digunakan ialah pemanfaatan tradisi lisan yang masih berkembang dalam masyarakat. Dalam hal ini, guru meminta siswa untuk membuat rekaman (kaset atau tertulis) folklor sastra yang ada dalam masyarakat di sekitarnya. Hasil rekaman inilah yang dibawa dan dibicarakan di sekolah. Di samping itu, pemanfaatan media elektronik daerah dan nasional (milik pemerintah atau swasta) yang pada hari dan saat tertentu menayangkan ragam sastra tertentu untuk dinikmati oleh pemirsa. Tradisi sastra lokal, pembacaan puisi, musikalisasi puisi, drama, dan sebagainya yang ditayangkan di radio dan televisi ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembelajaran bagi siswa melalui pemberian tugas secara personal ataupun kelompok.
Ketiga, persoalan minat belajar sastra. Faktor minat belajar memang merupakan masalah lain yang sangat mempengaruhi efektivitas pencapaian tujuan pembelajaran sastra di sekolah. Masalah minat ini sangat personal sifatnya sehingga pola penanganannya pun sangat bervariasi. Namun, satu hal yang pasti, faktor penggunaan metode penyajian dan pengevalusian hasil pembelajaran sastra di sekolah erat sekali hubungannya dengan penumbuhan minat belajar pada siswa. Hasil pengamatan dan wawancara dengan rekan-rekan guru menunjukkan bahwa selama ini pembelajaran sastra cenderung bersifat teoretis. Hal ini berhubungan dengan berbagai faktor lain, termasuk faktor kemampuan guru dan fasilitas belajar. Kurikulum sebenarnya tidak menuntut pemberlakuan satu metode tertentu dalam pembelajaran sastra. Kurikulum malah memberikan kesempatan pada guru untuk menggunakan berbagai metode secara bervariasi dalam penyajian materi tertentu sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai. Karenanya, orientasi pada pengajaran konsep teori sastra dan sejarah sastra tampaknya sudah saatnya dikurangi. Yang lebih dipentingkan saat ini tampaknya adalah pengakraban siswa dengan karya sastra sehingga mereka menemukan keasyikan personal dalam membaca, mengkritik, dan mengkreasikan teks sastra. Metode respon-analisis, strata norma, dan pendekatan-pendekatan lain secara bervariasi sudah saatnya digunakan dalam pengkajian teks sastra di kelas. Untuk itu, guru perlu membaca buku dan media cetak lain yang menjelaskan konsep dasar dan teknik penerapan metode atau pendekatan tersebut.
Hal lain yang erat sekali hubungannya dengan penumbuhan minat pada siswa adalah penggunaan teknik evaluasi pembelajaran. Selama ini, evalusi pembelajaran sastra lebih diarahkan pada penguasaan teori dan sejarah sastra. Soal-soal buatan guru ataupun soal standar nasional belum berorientasi sepenuhnya pada evaluasi yang bersifat apresiatif. Evaluasi yang bersifat apresiatif seharusnya beranjak dari hakikat karya sastra sebagai karya yang memungkinkan timbulnya interpretasi yang beragam, yang mungkin berbeda antara satu siswa dengan siswa yang lain. Karenanya, penggunaan soal bentuk isian ataupun soal uraian tampaknya lebih tepat digunakan dalam evaluasi pembelajaran sastra. Penggunaan soal bentuk yang lain, pilihan berganda misalnya, memaksa siswa untuk memilih satu jawaban yang dianggap paling tepat oleh pembuat soal sehingga interpretasi personal siswa tidak berkembang.
3. Penutup
Tampaknya masih banyak yang harus dilakukan untuk menjadikan pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal tidak lagi sarat dengan berbagai masalah pada masa yang akan datang. LPTK negeri dan swasta (FKIP, STKIP, dsb.) sebagai lembaga yang mendidik calon guru sastra sudah saatnya meninjau kembali penetapan jenis dan bobot mata kuliah kesastraan yang diprogramkan per semester, isi silabus per mata kuliah, kualifikasi dosen pengajar mata kuliah kesastraan, dan berbagai hal lain yang berkait dengan perkuliahan kesastraan di LPTK. Kecenderungan untuk menganggap kuliah kesastraan itu mudah, sepele, dan dapat diajarkan oleh siapa saja selama ini sudah saatnya ditanggalkan.
Bagi rekan-rekan guru yang sudah terlanjur memilih menjadi guru bahasa dan sastra Indonesia (dan daerah) di lembaga pendidikan dasar dan menengah sudah saatnya kita mengintrospeksi diri dan bertekad memberikan yang terbaik untuk pengajaran sastra. Kecenderungan untuk pasrah menerima kekurangan dan keterbatasan diri, keterbatasan fasilitas, dan berbagai keterbatasan lain sudah saatnya dibuang. Demikian juga halnya dengan kecenderungan untuk asal masuk kelas, asal anak-anak tidak ribut, asal target kurikulum tercapai, dan berbagai asal-asalan lain. Mestinya kita bangga bila murid kita mampu membaca puisi dengan baik, mampu membaca cerpen dengan benar, mampu mempublikasikan puisi atau cerpen di media cetak tertentu, terlibat dalam kelompok musikalisasi puisi, terlibat dalam kelompok teater, dan berbagai aktivitas kesastraan lainnya, meskipun dari awal kita sadari bahwa pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal tidak dimaksudkan untuk melahirkan penyair, cerpenis, dramawan, dan praktisi sastra lainnya.
Bagi adik-adik yang sudah terlanjur menjadi mahasiswa di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia sudah saatnya kita ubah visi kita tentang sastra (dan bahasa). Menjadi calon guru sastra (dan bahasa) tidak semudah dan tidak senaif yang dibayangkan oleh orang lain di luar kita. Malah, yang sering terjadi di lapangan, kelemahan dalam bidang studi lain dihubungkan dengan kegagalan guru bahasa (dan sastra) dalam menumbuhkan kemampuan membaca, kemampuan bernalar, dan kemampuan-kemampuan lain yang diperlukan dalam bidang studi tersebut. Sebagai calon guru sastra (dan bahasa) pada masa yang akan datang seharusnya kita punya kemampuan yang lebih baik daripada pendahulu kita. Berbagai kemudahan dan fasilitas yang ada dan ditawarkan dalam pembelajaran sastra saat ini hendaknya dimanfaatkan secara maksimal. Bila perlu, kegiatan lain yang berkait dengan kesastraan yang dilaksanakan di luar kampus kita ikuti untuk menambah bekal ilmu dan bekal keterampilan yang kita butuhkan nanti saat menjadi guru.
Semoga ulasan ini menggugah kita semua dalam usaha peningkatan kualitas pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal. Terima kasih.
Daftar Bacaan:
Aminuddin. 1990. Sekitar Masalah Sastra: Beberapa Prinsip dan Model Penerapannya. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh.
Gani, Rizanur. 1988. Pengajaran Sastra Indonesia: Respon dan Analisis. Padang: Dian Dinamika Press.
Nurhayati dan Yuli Karsiah. 2000. “Peningkatan Kemampuan Siswa Memahami Puisi dengan Model Strata Norma” dalam Jurnal Ilmu Pendidikan, Februari 2000. Malang: Universitas Negeri Malang.