SASTRA TUTUR SUMSEL SEMAKIN DITINGGALKAN



Sastra tutur, yang merupakan kesenian tradisional asli Sumatera Selatan, saat ini semakin ditinggalkan masyarakat. Para penutur yang berusia lanjut sudah banyak yang meninggal, sedangkan generasi muda tidak tertarik untuk mengembangkannya.Jika tidak ada langkah-langkah penyelamatan, kekayaan lokal yang bermuatan nilai-nilai hidup itu akan punah dan tinggal menjadi sejarah. Wakil Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Sumatera Selatan (DKSS) Yudhy Syarofie di Palembang, Kamis (5/5), mengatakan, kepunahan sastra tutur hanya tinggal menunggu waktu.

Saat ini sastra tutur hanya dipentaskan pada pesta adat, saat-saat tertentu, atau pada Festival Sriwijaya setahun sekali. Di luar itu, tak banyak lagi pertunjukan sastra tutur.
"Generasi muda sekarang enggan menekuni atau menonton sastra tutur. Pertunjukan pop masih lebih atraktif bagi mereka, seperti pertunjukan dangdut, musik pop, atau organ tunggal. Tayangan di televisi juga lebih diminati," katanya.
Sastra tutur merupakan seni mendongeng, yang dituturkan di tengah masyarakat Sumsel sejak beratus-ratus tahun lalu. Sastra itu berisi cerita-cerita yang bermuatan nilai-nilai kearifan lokal, diceritakan oleh seorang penutur dengan atau tanpa iringan musik. Pertunjukan dilakukan dengan bahasa Melayu untuk pesta adat, hajatan besar, atau acara lain.
Menurut penyair asal Palembang, Jaid Saidi, sastra tutur di Sumsel diekspresikan dalam berbagai bentuk dengan nama khusus, sesuai dengan tradisi daerah masing-masing. Bermacam-macam sastra tutur itu, antara lain Njang Panjang dan Bujang Jelihim yang berkembang di daerah Ogan Komering Ulu, Jelihiman di Ogan Ilir, dan Senjang di Musi Banyuasin.
Sastra tutur bernama Geguritan, Betadur, dan Tangis Ayam tumbuh di Lahat, Nyanyian Panjang dan Bujang Jemaran terdapat di Ogan Komering Ilir, sedangkan di Palembang terdapat dongeng dan denggung.
Pengamat sastra, Latifah Ratnawati, mengungkapkan, saat ini guru-guru sekolah sudah jarang yang memahami sastra lisan (tutur), seperti pitutur Bujang Jelihim dari daerah Ogan Komering Ilir, pertunjukan cerita Putri Dayang Merindu asal Palembang, dan dongeng Putri Pinang Masak. "Dari survei yang pernah kami lakukan, hanya 40 persen dari sekitar 100 guru SD di Sumse yang mengetahui nama-nama sastra tradisi itu. Padahal, karya-karya itu telah hidup di masyarakat Sumsel sejak ratusan tahun silam," katanya.
Jika kekayaan tradisi itu benar-benar punah, masyarakat Sumsel akan kehilangan akar budaya yang membentuk karakternya. Nilai-nilai yang terkandung dalam sastra tutur dapat digunakan untuk menularkan kearifan lokal kepada generasi muda.
Menurut Yudhi, sastra tutur mengandung nilai-nilai filosofis penting dalam kehidupan. Dongeng Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat, misalnya, mengajarkan anak-anak agar menyelesaikan masalah dengan jalan damai dan menghindari tindakan menang sendiri. (iam/kompas)

Read More..

Ketika Iblis Membentangkan Sajadah

Cerpen Imron Supriyadi

Siang menjelang dzuhur. Salah satu Iblis ada di Masjid. Kebetulan hari itu Jum’at. Saat berkumpulnya orang. Iblis sudah ada dalam Masjid. Ia tampak begitu khusyuk. Orang mulai berdatangan. Iblis menjelma menjadi ratusan bentuk. Ia masuk dari segala penjuru. Masuk lewat jendela, pintu, ventilasi, atau masuk lewat lobang pembuangan air. Pada setiap orang, Iblis juga masuk lewat telinga. Masuk ke dalam syaraf mata. Masuk ke dalam urat nadi, lalu menggerakkan denyut jantung setiap para jamaah yang hadir. Iblis juga menempel di setiap sajadah.
“Hai, Blis!”, Panggil Kiai, ketika baru masuk ke Masjid itu.
Iblis merasa terusik.
“Kau kerjakan saja tugasmu, Kiai. Tidak perlu kau larang-larang saya. Ini hak saya untuk menganggu setiap orang dalam Masjid ini!”, Jawab Iblis Ketus.
“Ini rumah Tuhan, Blis! Tempat yang suci. Kalau kau mau ganggu, kau bisa diluar nanti!”, Kiai mencoba mengusir.
“Kiai, hari ini, adalah hari uji coba sistem baru”.
Kiai tercenung.
“Saya sedang menerapkan cara baru, untuk menjerat kaummu”.
“Dengan apa?”
“Dengan sajadah!”.
“Apa yang bisa kau lakukan dengan sajadah, Blis?”
“Pertama, saya akan masuk ke setiap pemilik saham industri sajadah. Mereka akan saya jebak dengan mimpi untung besar. Sehingga, mereka akan tega memeras buruh untuk bekerja dengan upah di bawah UMR, demi keuntungan besar!”
“Ah, itu kan memang cara lama yang sering kau pakai. Tidak ada yang baru, Blis”.
“Bukan itu saja Kiai”.
“Lalu?”
“Saya juga akan masuk pada setiap desainer sajadah. Saya akan menumbuhkan gagasan, agar para desainer itu membuat sajadah yang lebar-lebar”.
“Untuk apa?”
“Supaya, Saya lebih berpeluang untuk menanamkan rasa egois di setiap kaum yang Kau pimpin, Kiai!”
“Selain itu, Saya akan lebih leluasa, masuk dalam barisan sholat. Dengan sajadah yang lebar, maka barisan shaf akan renggang. Dan saya ada dalam ke-renganggan itu. Di situ Saya bisa ikut membentangkan sajadah.
Dialog Iblis dan Kiai sesaat terputus.
Dua orang datang, dan keduanya membentangkan sajadah. Keduanya berdampingan. Salah satunya, memiliki sajadah yang lebar. Sementara, satu lagi, sajadahnya lebih kecil. Orang yang punya sajadah lebar, seenaknya saja membentangkan sajadahnya. Tanpa melihat kanan-kirinya. Sementara, orang yang punya sajadah lebih kecil, tidak enak hati jika harus mendesak jamaah lain yang sudah lebih dulu datang.
Tanpa berpikir panjang, pemilik sajadah kecil, membentangkan saja sajadahnya. Sehingga, sebagian sajadah yang lebar, tertutupi sepertiganya. Keduanya masih melakukan sholat sunnah.
“Nah, lihat itu Kiai!”, Iblis memulai dialog lagi.
“Yang mana?”
“Ada dua orang yang sedang sholat sunnah itu. Mereka punya sajadah yang berbeda ukuran. Lihat sekarang, aku akan masuk diantara mereka”.
Iblis lenyap. Ia sudah masuk ke dalam barisan shaf.
Kiai hanya memperhatikan kedua orang yang sedang melakukan sholat sunah. Kiai akan membuktikan apa yang dikatakan Iblis.
Pemilik sajadah lebar, rukuk. Kemudian sujud. Tetapi, sembari bangun dari sujud, ia membuka sajadahya yang tertumpuk, lalu meletakkan sajadahnya, diatas sajadah yang kecil. Hingga sajadah yang kecil, kembali berada di bawahnya.
Ia kemudian berdiri. Sementara, pemilik sajadah yang lebih kecil, melakukan hal serupa. Ia juga membuka sajadahnya, karena sajadahnya ditumpuk oleh sajadah yang lebar. Itu berjalan sampai akhir sholat. Bahkan, pada saat sholat wajib juga, kejadian-kejadian itu beberapa kali terihat di beberapa masjid. Orang lebih memilih menjadi diatas, ketimbang menerima dibawah. Diatas sajadah, orang sudah berebut kekuasaan atas lainnya. Siapa yang memiliki sajadah lebar, maka, ia akan meletakkan sajadahnya diatas sajadah yang kecil. Sajadah sudah sudah dijadikan Iblis sebagai pembedaan kelas. Pemilik sajadah lebar, diindentikan sebagai para pemilik kekayaan, yang setiap saat, harus lebih diatas dari pada yang lain. Dan pemilik sajadah kecil, adalah kelas bawah, yang setiap saat akan selalu menjadi sub-ordinat dari orang yang berkuasa. Diatas sajadah, Iblis telah mengajari orang selalu menguasai orang lain.
“Astaghfirullahal ‘adziiiim”, Ujar Kiai pelan.
**
Ba’da Subuh. Orang-orang sudah beranjak dari Masjid. Mereka menuju ke rumahnya masing-masing. Dan beberapa menit, atau beberapa jam kemudian, masing-masing orang sudah disibukkan oleh pekerjaan keseharian. Apalagi kalau bukan untuk mempertahankan hidup. Masjid menjadi lengang dari jamaah. Sementara, Iblis tetap duduk bersimpuh di depan mihrab. Ia begitu khusyuk. Seolah, Iblis sedang bertaqorrub kepada Tuhan. Dalam keheningan, isak tangis Iblis terdengar samar. Sesekali, Iblis menyeka air matanya yang ber-urai.
Tak lama kemudian, Kiai datang. Iblis tak menghiraukan kedatangan Kiai. Sesaat, ia memperhatikan Iblis itu. Tetapi kemudian, Kiai mengalihkan pandangannya ke hadapan sajadah, dan melakukan sholat sunnah.
Usai sholat, Kiai kembali memperhatikan gerak-gerik Iblis, yang masih tetap khusyuk. Dan tidak berapa lama, Iblis mengusap mukanya dengan kedua telapak tangannya. Ia baru selesai melakukan ritual ke-agamaan. Matanya masih sembab. Karena sejak pagi tadi, Iblis itu menangis.
“Blis, Aku ini heran”, Kata Kiai setelah duduk di sebelah Iblis.
“Kenapa, Kiai?”
“Kau ini aneh. Kau kan mahluk yang diusir dari Sorga oleh Tuhan. Tetapi, hari ini, Kau menangis sejadi-jadinya di hadapan Tuhan”.
Mata Iblis berbinar. Ia merasa berhasil menarik perhatian Kiai.
“Saya hanya berusaha, Kiai. Siapa tahu, dengan tangisan ini, saya dan kawan-kawan bisa mendapat pengampunan”.
“Tetapi, bagaimana bisa Kau menangis, sementara, selama ini Kau sudah menanam kebencian terhadap Tuhan?”
“Ah, Kiai bisa saja. Tangisan ini kan konsekuensi dari pangakuan dosa saya”.
Kiai tercenung sesaat.
“Tapi, Blis. Selama ini, saya tidak pernah bisa menangis dalam beribadah?”
“Ya, mungkin, anda belum khsusyuk”.
Kiai tersentak.
Selama ini, orang desa selalu meng-elu-elukan beribadahnya Kiai. Tetapi, hari itu, Kiai dikatakan oleh Iblis, Kiai tidak khusyuk beribadah. Ini pukulan berat bagi Kiai. Tetapi, sekalipun dadanya sesak, Kiai tetap mencoba bijak.
“Kalau boleh tahu, kenapa kau bisa menangis?”, Kata Kiai mengatur emosi.
“Ya, karena saya pernah melakukan dosa”, Jawab Iblis enteng.
“Dosa yang bagaimana?”
“Dosa apa saja. Bisa membunuh, minum-minuman keras, atau juga berzina”.
Kiai kembali tersentak.
Sebab, seumur hidup-nya, Kiai ini belum pernah melakukan dosa yang disebut Iblis.
“Apakah, kalau saya belum pernah melakukan dosa yang kau sebut tadi, kemudian, saya tidak bisa menangis setiap sehabis sholat?”
“Wah, ya jelas. Kalau sudah melakukan dosa, kan ada penyesalan. Nah, baru kemudian, Kiai bisa menangis pada saat beribadah atau setiap sehabis sholat”, Kata Iblis mulai membuat jebakan.
“Tapi, saya tidak berani berzina. Itu larangan Tuhan. Itu dosa besar?”
“Membunuh!”, Iblis memberi alternatif.
“Wah, apalagi membunuh! Saya ini penakut!”
“Ya, kalau begitu, minum-minuman keras saja. Ini yang paling ringan”.
Kiai tercenung lagi.
“Bagaimana? kalau Kiai setuju, nanti malam, saya akan jemput Kiai. Saya akan tunjukkan bagaimana, Kiai harus mulai melakukan dosa, agar nanti, kalau Kiai sholat, Kiai bisa menangis seperti saya”.
**
Waktu Isyak berlalu. Iblis dan Kiai keluar dari Masjid. Orang-orang sekitar hanya menatap heran, ketika ada warga baru yang sudah demikian akrab dengan Kiai mereka. Tapi, tak seorang pun yang berani melarang. Mereka tidak bisa berbuat banyak. Sementara, Iblis sudah membawa Kiai menembus malam.
Pada sebuah Kedai, agak jauh dari perdusunan, tempat Kiai tinggal. Banyak Laki-laki dan perempuan berkumpul di situ. Kata-kata kotor, dan suara manja perempuan kampung yang siap melayani para lelaki, makin jelas terdengar. Bermacam botol minuman keras tersedia di Kedai itu.
“Bagaimana Kiai?”
“Aduh, gila Kau, Blis!”
“Mau minum apa?”, Tanya Iblis ketika keduanya sudah duduk.
“E…e….”
“Tidak perlu gugup Kiai. Nanti juga terbiasa!”
Dua buah botol dipesan. Iblis menatap Kiai. Kiai tampak ragu. Sementara, Iblis sudah menuangkan minuman ke dalam gelas, yang ada di hadapan Kiai.
“Ayolah, Kiai. Setelah minum ini, saya yakin, Kiai bisa lebih khusyuk, dan bisa menangis, ketika nanti Kiai sholat”.
Sedikit demi sedikit, Kiai terkena rayuan Iblis. Tak berapa lama, Kiai sudah mabuk berat. Iblis beri kode pada salah satu perempuan. Salah satu perempuan, kemudian membawa Kiai ke satu rumah, tepat di belakang Kedai.
Langit gelap. Mata Kiai juga menjadi gelap. Sementara, desah napas Kiai dan perempuan itu menjadi satu gerakan erotis yang menegangkan. Keringat bercucuran. Detak jantung keduanya berdegup kencang. Petikan ayat, hadits dan mutiara hikmah, tak lagi mampu membentengi hasrat Kiai. Yang ada hanya napas yang memburu.
Sepertiga malam terakhir, Kiai terbangun. Di sebelahnya, ada perempuan tergolek tanpa busana. Kiai terkejut. Ia jadi blingsatan. Ia coba ucapkan kata Istighfar, tetapi, lidahnya kelu. Beberapa kali, Kiai mencoba sebut nama Tuhan. Tapi ia gagal. Ada ketakutan yang tiba-tiba menyusup. Kiai tak sempat lagi, mengingat rentetan kejadian, yang telah membawanya ke tempat itu.
Matanya menjadi gelap. Hatinya juga tersumbat. Sebuah pisau pemotong buah di atas meja ia hunjamkan ke perut perempuan itu. Seketika, jeritan dan lengkingan kesakitan perempuan itu membangunkan warga sekitar. Warga sudah berbondong-bondong. Menggedor dan berkerumun mengitari tempat Kiai dan perempuan itu tidur.
Pagi tiba. Kiai sudah berada di tiang gantungan. Sementara, dari kejauhan, Iblis tertawa lebar.
“Kurang ajar kau Iblis. Kau telah menipuku!” Teriak Kiai protes.
“Kiai, tak ada gunanya kau memprotes. Kau sudah masuk dalam jeratanku. Kau harus menjalani hukuman berat”.
“Coba Kau selamatkan aku dari tiang gantungan ini, Blis!”
Iblis tertawa. Kali ini lebih lebar.
“Kalau Kiai ingin selamat dari tiang gantungan itu, bersaksilah atas namaku. Lalu tundukkan muka pada ku. Itu sebagai pengakuan Kiai, bahwa Kiai telah mau dan rela menjadi hambaku!”
“Aku adalah hamba Tuhan! Aku bukan hambamu!”
“Tapi pada posisi seperti sekarang, yang dibutuhkan Kiai bukan Tuhan, tetapi aku, yang telah membawa Kiai ke tiang gantungan. Maka segeralah tundukkan muka dan bersaksilah atas namaku!”
Kiai terdiam. Kepalanya tertunduk.

Tetapi, iblis tetap Iblis. Ia tak pernah menyelamatkan Kiai dari tiang gantungan. Iblis lenyap. Kembali pada alam-nya. Ia berlari membawa kemenangan. Dan besok atau lusa, Iblis akan kembali membentangkan sajadah**

lpm ukhuwah-iain rf-Palembang,
30 November 2001

Read More..

PEREMPUAN YANG MENIKAH DENGAN ANJING

Cerpen Imron Supriyadi

Cik Pay. Begitu orang banyak memanggil perempuan itu. Wajahnya putih. Rambutnya mayang mengurai. Dagunya seperti lebah bergantung. Jalannya seperti harimau lapar; gemulai. Alisnya nanggal sepisan; seperti semut berbaris yang mendapat aba-aba Nabi Sulaiman.

Sorot matanya bak rembulan terang di malam lima belas purnama. Setiap lelaki yang menatapnya akan tertunduk oleh keteduhan pandangannya. Ucapannya bisa meluluhlantakkan gemuruh dan emosi yang menggumpal. Itulah Cik Pay yang kukenal di kampung kami.

Cik, adalah panggilan bagi warga keturunan rumpun melayu. Bagi marga Besemah Sumatra Selatan, Cik menjadi panggilan bagi bibi, tante atau paman. Tetapi di kampung kami, panggilan Cik bagi perempuan itu tak punya sejarah dengan rumpun melayu. Hanya karena kebiasaan warga saja sehingga setiap perempuan dewasa yang belum dikenal namanya sering di panggil Cik. Ini sama halnya warga suku jawa yang memanggil mbak bagi perempuan yang baru dikenalnya. Sementara di kampung kami, Pay adalah nama belakang anjing yang enam bulan lalu patah kaki akibat tergilas sebuah mobil. Anjing itu terguling-guling di aspal. Tetapi mobil terus melaju tak pandang kasihan terhadap penderitaan Pay.
“Kaing! Kaing!” lolongan anjing itu menembus ruang-ruang kosong diantara suara derum mesin mobil di jalan Sudirman Palembang. Ada jeritan yang menyayat akibat menahan rasa sakit. Tetapi tak sesiapa yang kemudian menolong, ketika kemudian anjing itu tergelepar di bawah trotoar. Perempuan yang kemudian dipanggil Cik Pay secara tiba-tiba muncul dari kerumunan orang. Cik Pay adalah salah satu pelacur yang tinggal di kampung kami. Tak ada beban sedikit pun ketika Cik Pay kemudian mengambil anjing itu dan dibawanya ke rumah. Sejak perempuan itu merawat dan memelihara anjing, akhirnya warga banyak memanggil perempuan itu dengan Cik Pay, alias bibi-nya anjing Pay. Tapi anehnya, julukan itu disambut dengan senyum. Tak ada rona yang menggambarkan dirinya dihempas keterhinaan dengan sebutan; bibi anjing.
Ulah aneh Cik Pay ini kontan saja menjadi perbincangan warga di kampung kami. Tak urung juga, keanehan Cik Pay yang membawa anjing ke rumahnya di dengar para tokoh masyarakat, agama dan unsur pemerintah. Bahkan kampung sebelah juga turut memperbincangkan Cik Pay. Satu hari setelah kejadian, warga merangsek ke rumah kepala lingkungan di kampung kami.
”Saudara, saudara! Kelakuan Cik Pay di kampung ini menjadi pertanda, bahwa di kampung kita akan segera datang musibah besar. Oleh sebab itu, saya selaku kepala lingkungan akan segera memberi teguran kepada Cik Pay, sebagaimana permintaan warga,” ujar War, berpidato di hadapan warga, menanggapi perilaku Cik pay.
Di kampung kami, anjing dianggap binatang najis. Oleh sebab itu, tak ada anjing yang bisa keluar dengan selamat dari kampung kami. Sudah pasti, setiap anjing yang masuk akan menjadi bangkai. Sampai saat ini tak banyak warga yang mengetahui latarbelakang, mengapa anjing begitu dibenci di kampung kami. Tetapi sebagian warga mengatakan, kebencian warga terhadap anjing di kampung kami, dilatari oleh sejarah pertikaian anjing dan kucing. Sebagian tokoh agama menyebut, kucing adalah mahluk yang sangat dikasihi nabi. Sementara dalam sejarah, hampir tidak ada cerita damai antara anjing dan kucing. Keduanya selalu berkelahi. Dengan sejarah itu, kemudian sebagian warga menterjemahkan; membiarkan anjing di kampung kami, sama halnya memelihara musuh kucing yang sangat dikasihi nabi.
Protes warga di kampung kami memang terasa aneh. Di saat Cik Pay memelihara dan merawat anjing yang cacat, mendapat hujatan warga. Tetapi warga di kampung kami tidak pernah protes terhadap film Tom and Jerry, yang mempertontonkan kucing yang selalu menjadi bulan-bulanan sekelompok tikus. Padahal penghinaan kucing dalam film ini lebih ideologis ketimbang sekedar protes pada Cik Pay. Tetapi aku kemudian cukup maklum. Sebab, meskipun dalam otak manusia berisi angka, huruf dan simbol, tetapi hanya 20 persen sebagian manusia yang bisa menangkap simbol-simbol, apakah kehinaan dan simbol keagungan. Sehingga simbol kehinaan kucing dalam film Tom and Jerry tak juga menjadi perhatian warga.
Kebanyakan warga di kampung kami lebih melihat sesuatu dari satu sudut pandang, sehingga yang muncul bukan makna dibalik simbol, tetapi hanya angka dan huruf. Oleh sebab itu, ketika melihat Cik Pay memelihara anjing yang sakit, kontan saja menimbulkan sinisme warga. Masalahnya sederhana, sebagian warga di kampung kami hanya melihat dari kenyataan yang didepan mata. Tak pernah diantara warga kampung kami mencoba melihat dai sudut pandang yang berbeda, apalagi harus menggunakan teori berpikir memutar, melihat dibalik simbol dari Cik Pay dan anjingnya.
Hanya tiga hari Cik Pay berhasil mempertahankan anjing di rumahnya. Setelah itu Cik Pay tak kuasa menahan desakan warga yang meminta agar anjing piaraannya harus segera dibuang. Sebagian warga meminta agar Pay segera dibunuh. Tetapi Cik Pay keberatan.
“Sekarang pilih, anjing itu harus kami bunuh, atau kamu berdua yang keluar dari kampung kami!” ujar warga setengah mengusir.
“Kamu tetap boleh tinggal di kampung kami, tetapi Pay harus mati!” kata lainnya.
Perilaku warga di kampung kami terhadap Cik Pay, mengingatkan aku pada persitiwa serupa ketika aku masih tinggal di India. Tepatnya di Distrik Jaipur, India Timur. Bedanya, kalau di kampung kami sekarang, anjing dan perempuan yang merawatnya diperlakukan hina. Tetapi di negara bagian Orissa, India Timur itu justru terjadi pernikahan antara Sagula, bayi laki-laki berumur 2 tahun dan Jyoti, seekor anjing lokal. Yang aku tahu, pernikahan Sagula dan Jyori adalah bagian tradisi dari adat Suku Munda. Menurut tradisi mereka, pernikahan Sagula dengan anjing, kelak ketika Sagula dewasa akan terlindungi dari serangan binatang liar, seperti harimau dan sejenisnya. Tapi meski sudah menikah dengan Jyoti, Sagula tetap akan bisa menikah dengan perempuan yang dicintainya tanpa harus bercerai dengan Jyoti. Dengan pernikahan ini, penampilan Sagula diyakini akan membuat binatang liar, seperti harimau, takut menyerangnya. Para dewa dari suku juga akan memberkati dan melindungi Sagula roh jahat.
”Kami melakukan perkawinan ini untuk menghalau segala kutukan yang menimpanya dan kami,” ujar Sanarumala Munda, ayah Sagula. Bayi yang baru tumbuh gigi ini digiring ke sebuah kuil desa, di sana seorang pemuka agama mengawinkannya dengan Jyoti, anjing milik tetangga pengantin laki-laki.
Peristiwa serupa terjadi pula ketika aku berkunjung ke Dhanbad. Masih di India. Seorang gadis berusia 7 tahun warga kota pertambangan Dhanbad, Negara Bagian Bihar, India Timur, menikah dengan seekor anjing liar. Ini adalah bagian dari ritual untuk melenyapkan pengaruh buruk yang ada dalam dirinya. Adanya ciri-ciri khusus pada susunan geligi Shivam Munda, bocah perempuan itu. Dianggap oleh orang-orang suku Santhal, sebagai pertanda buruk. Kundan Munda, ibu Shivam mengatakan, anaknya menikah dengan anjing hanya untuk menghilangkan kekuatan jahat yang bisa menyebabkan kesialan. Ritual menikah dengan anjing harus dilakukan agar kelak ia bisa menikah dengan seorang laki-laki. Seperti pernikahan biasa, antarwarga suku Santhal, perkawinan Shivam Munda dengan seekor anjing geladak juga berlangsung sampai 3 hari-3 malam dan dihadiri segenap kerabat, teman dan handai taulan.
Terhadap Cik Pay, aku tidak tahu persisnya apakah dia juga akan menjalani ritual yang sama dengan Sagula dan Shivam Munda atau tidak. Tetapi, yang aku lihat, kedekatan Cik dan Pay sudah mirip kasih sayang antara suami dan isteri. Seolah keduanya saling membutuhkan. Cik Pay tak sedikitpun menghiraukan umpatan warga yang melihat jijik dengan ulah Cik Pay. Sampai warga menghujatnya, Cik Pay masih tetap dalam pendiriannya; mengasihi dan menyanyangi Pay, anjingnya.
Pay masih dalam gendongan Cik Pay. Beberapa kali Cik Pay mengelus bulu-bulu anjing itu. Elusan tangan Cik Pay, seperti jelmaan tangan Tuhan yang selalu menebar Rahman dan Rahim terhadap hamba-Nya. Tetapi itu tak tampak diantara detak jantung emosi warga. Justru pancaran kasih sayang Cik dan anjingnya terbinar di antara kegersangan batin di sebagian warga.
“Kalian tidak pernah berpikir, seandainya kalian bernasib seperti Pay sekarang?” Cik Pay mulai bicara.
“Kalian berniat membunuh Pay, padahal sebenarnya kalian tidak punya hak sedikitpun untuk mencabut nyawa setiap mahluk, walau seekor nyamuk sekalipun!”
“Alaaah, kamu itu lonthe, tidak usah ceramah! Kamu dan anjing sama saja!”
”Sudah, sekarang lemparkan anjing itu, dan kamu bisa tidur nyenyak, supaya nanti malam kamu bisa melayani banyak laki-laki,” tukas warga lainnya, ditingkahi gelak tawa secara spontan.
Cik Pay beranjak masuk. Warga terdiam sesaat. Tak lama, Cik Pay keluar membawa sebuah, tas, kardus dan plastik pelindung hujan. Beberapa warga berbisik. Sebagian warga menganggap Cik Pay sudah gila oleh anjing peliharaannya, sampai akhirnya sanggup berkorban hanya untuk seekor anjing.
“Mau kau apakan, anjing itu?”
”Bukankah kalian yang meminta agar aku dan anjingku ini keluar dari kampung ini? Aku akan turuti keinginan kalian, tapi dengan satu syarat, kalian tidak boleh membunuh anjing ini,” kata Cik Pay, sambil melangkah pergi meninggalkan kerumunan.
”Dasar perempuan sinting! Anjing dipelihara!”
Sejak Cik Pay pergi, warga kampung sedikit reda. Ada sekitar satu pekan warga kampung kami tidak lagi meributkan Cik Pay. Tetapi masuk dua pekan, kabar tentang perilaku Cik Pay terdengar lagi oleh sebagian warga. Cik Pay menyembunyikan anjingnya di pojok gerobak bekas pedagang bakso yang sudah rusak. Dengan penuh kasih dan sayang, Cik Pay merawat anjingnya. Menurut warga yang melihat, setiap malam, siang dan sore Cik Pay selalu mengunjungi Pay dan mengantar makanan. Warga di kampung kami makin heran dengan ulah Cik Pay.
“Kelakuannya makin yang tak masuk akal!”
“Jangan-jangan, Cik Pay sudah benar-benar gila!”
“Mungkin karena anjingnya lai-laki, gantinya suami ya anjing itu!”
Banyak nada ejekan dan hinaan yang menimpa Cik Pay. Tapi Cik Pay tetap keukeh merawat anjingnya. Tak peduli dengan cercaan warga. Toh, di mata Cik Pay, warga kampong kami tidak mengetahui ungkapan hatinya. Inilah kelemahan sebagian warga kampong kami. Melihat kenyataan sosial hanya dari pandangan lahir. Tidak pernah membaca dan menggali data-data ghoib atas kejadian di alam dan sekitarnua.
Memasuki bukan kedua, Cik Pay kembali ke kampung kami. Kali ini Pay tidak dibawa. Cik Pay tahu persis, kalau anjing peliharaannya dibawa akan kembali mengundang reaksi warga. Tetapi setiap ba’da maghrib, Cik Pay selalu keluar rumah. Ada bungkusan plastik hitam ditangannya. Sebongkah nasi dan sepotong ikan asin ia sediakan untuk anjingnya.
Tak urung juga warga kian hari penasaran terhadap ulah Cik Pay. Sebagian warga membuntuti dari belakang. Mereka ingin membuktikan cerita tak masuk akal tentang Cik Pay. Sebagian warga kampung kami kian hari justru kian sakit dengan dirinya sendiri. Sibuk mengurusi pekerjaan Cik Pay, sementara dirinya tidak pernah diurusi. Mencari-cari kelemahan Cik Pay yang kemudian mereka anggap merawat anjing yang terkena musibah dianggap sebuah tindakan yang hina.
Hanya dari jarak yang dekat, sebagian warga kampung kami melihat langsung bagaimana Cik Pay membelai anjingnya. Persis seperti ketika Cik Pay dihadapan warga satu bulan sebelumnya. Ia belai anjingnya dengan kasih sayang. Melihat kejadian itu, warga makin bingung. Tetapi Cik Pay tidak ambil pusing. Sejak Pay terhempas oleh sebuah mobil, kini Cik Pay kemudian punya dua pekerjaan. Selain menjadi pelacur, ia kini menjelma menjadi pemelihara anjing, seklaigus ibunya, yang setiap saat dengan setia memberi makan dan menadikannya.
Cik Pay melihat langit mendung malam itu. Ini tak baik bagi Pay. Diam-diam, Cik Pay membawa anjingnya pulang. Tak salah memang. Sesampai di rumah, hujan deras mengguyur kampung. Angin begitu kencang menerpa. Sesekali suara gemuruh terdengar, bersaamaan dengan riuh redamnya jutaan tetesan air dari langit. Pay dalam pelukan Cik Pay. Selembar kain ia bentangkan di tubuh Pay. Dengan penuh kasih dan saying, Cik memeluk anjing itu. Persis seperti seorang ibu yang tidak ingin anaknya masuk angina karena kedinginan.
Pagi harinya, warga berkerumun. Ada beberapa pohon tumbang akibat terpaan angin kencang tadi malam. Tak ada korban. Tetapi rumah beberapa warga sempat porak poranda. Sebagian warga ingatannya kembali pada Cik Pay dan anjingnya.
“Benar yang pernah dikatakan Pak War! Selama Cik Pay dan najingnya masih hidup, kampung ini tidak akan tenang. Sekarang hujan dan angin, besok mungkin banjir!” kata warga emosi.
“Tidak ada pilihan lain, Cik Pay kita usir dan anjingnya harus kita bunuh!”
Warga kampung kami secara serentak mendatangi rumah Cik Pay. Tak di sangka, Cik Pay sudah di depan rumah. Seolah ia mengetahui tentang rencana warga pagi itu. Cik Pay dengan kasih sayang masih menggendong Pay. Bulunya mulai halus. Kakinya mulai pulih walau harus berjalan pincang.
”Hei, bibi anjing! Sebenarnya apa maumu?!”
”Mestinya kamu pelihara laki-laki jadi suamimu, dari pada memelihara anjing kurap seperti Pay?!
Cik Pay hanya memandangi beberapa warga secara bergantian. Tak ada emosi yang terpancar dari wajahnya. Bahkan kecerahan tersemburat di wajah Cik Pay pagi itu. Beberapa warga saling pandang. Mereka heran dengan Cik Pay. Seperti tak ada rasa takut sedikitpun dengan ancaman warga.
“Dengar semuanya,” Cik Pay berdiri.
“Aku memelihara anjing ini seperti halnya kalian menyanyangi dan mencintai anak dan isteri,” katanya rendah.
”Hei! Jangan kamu samakan anjing dengan anak dan isteri kami!” protes warga.
”Aku, kalian, anjing ini, anak dan isteri kalian sama. Artinya sama-sama mahluk ciptaan Tuhan. Jadi, sesama mahluk kita tak punya hak untuk saling menyakiti, apalagi membunuh. Menyakiti mahluk di muka bumi, sama halnya kalian telah menyakiti yang menciptakan mahluk. Kalian membenci anjing ini, sama halnya kalian telah membenci yang menciptakan anjing. Alasanku memelihara dan merawat anjing ini hanya satu...” ucapan Cik Pay terhenti.
Sebagian warga hanya saling pandang. Mereka masih menunggu kalimat lanjutan dari mulut Cik Pay.
”Aku merawat anjing ini, karena aku cinta dengan yang menciptakan anjing. Aku memelihara anjing ini, karena aku cinta dengan yang menciptakan mahluk. Aku tidak ingin melihat anjing ini kesakitan. Membiarkan anjing ini kesakitan, sama halnya kita telah menyakiti yang menciptakan anjing. Aku tidak membalas amarah kalian, karena kalau aku membalasnya, itu sama saja aku sedang menghujat yang menciptakan kalian! Sama halnya aku telah menebar amarah terhadap yang menciptakan kalian!” kalimat Cik Pay tak bisa terbendung lagi. Ucapannya menggelontor bagai Dam air yang jebol. Suara Cik Pay terus membanjiri relung-relung kegersangan batin warga.
Warga termangu. Suasana menjadi hening. Tak ada amarah. Tak ada hinaan. Ada kerinduan dan cinta yang kemudian menyeruak di setiap batin warga. Sementara Cik Pay dan anjingnya sudah hilang di balik pintu rumahnya. Warga kemudian bergegas ingin masuk. Tetapi sampai di dalam rumah, tak dijumpai lagi Cik Pay dan anjingnya. Warga tak tahu kemana Cik Pay dan anjingnya pergi. Ia hilang bagai ditelan bumi.(*)

BTN Krg.Asam,
Tanjung Enim, 5 Desember 2008

Read More..

PENGARANG PEREMPUAN DAN LOKALITAS



Catatan Anwar Putra Bayu

1. Miskin Pengarang Perempuan
Sebuah kenyataan yang harus diterima oleh jagad sastra khususnya dunia pengarang di Sumatera Selatan dengan jumlah penduduk lebih kurang 6.518.791 jiwa (data tahun 2003), yang mendiami 11 kabupaten dan 4 kotamadya, maka sedikit sekali bahkan dapat dihitung dengan jari tangan adanya pengarang berjenis kelamin perempuan.
Bila dicermati beberapa buku yang memuat tentang data atau biografi pengarang Indonesia, Buku Direktori Penulis Indonesia (Depdikbud 1997) misalnya, maka hanya tercatat nama seorang perempuan kelahiran Bangka, yakni Hamidah. Selebihnya pengarang dari Sumatera Selatan tercatat nama-nama seperti A. Bastari Asnin (Muara Dua, Komering), Alex Leo (Lahat), Bur Rasuanto (Palembang), Koko Bae atau Surya Gunawan (Palembang), Nurhayat Arief Permana (Palembang), Sobron Aidit (Belitung), Syamsu Indra Usman (lahat), T. Wijaya (Palembang), dan Wahab Manan (Palembang). Ini menunjukan bahwa dunia kepengarangan lebih banyak didominasi kaum lelaki.
Tentunya, sebagaimana nama-nama tersebut di atas, maka nama seperti B. Yass yang kelahiran Huta Padang, Kisaran (Sumatera Utara) juga merupakan sosok pengarang/sastrawan Sumatera Selatan yang tak kalah pentingnya memberikan kontribusi bagi perkembangan sastra modern Indonesia. Di masa hidupnya B. Yass banyak menyebarluaskan karya-karyanya berupa cerita pendek, novel, dan sastra lakon ke beberapa media cetak terbitan pusat dan daerah.
Setelah Hamidah meninggal pada 8 Mei 1953, tidak ditemukan lagi pengarang perempuan selama lebih kurang 37 tahun yang khusus memberi kontribusi terhadap denyut sastra di Sumatera Selatan. Barulah memasuki era 1990-an nama-nama seperti Hesma Eryani, Emedi Serry dan Ine Somad muncul. Kehadiran mereka mewarnai jagad sastra Sumatera Selatan melalui karya puisi mereka yang diterbitkan media cetak local.
Ine Somad misalnya, bersama lima penyair laki-laki (Antonarasoma, Dimas Agus Pelaz, Mulyadi J Malik, Nurhayat Arief Permana, S.N. Al-Sjajidi, dan Sumarman) adalah satu-satunya perempuan yang terlibat dalam Kumpulan Puisi Profetik “Ghirah”, yang diterbitkan oleh Sriwijaya Media Utama pada tahun 1992. Nama Ine Somad, Hesma Heryani, dan Emedi Seri belakangan ini, terutama sejak akhir tahun 1999 praktis tak terdengar lagi, apalagi setelah mereka menikah barangkali urusan domestic tampak lebih jadi penting. Meskipun menurut saya ini bukan satu-satunya alasan kemudian menghilang.
Membaca perkembangan sastra di Sumatera Selatan saat ini, maka tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan pertumbuhan dan perkembangan sastra sebelumnya. Menurut B. Trisman dalam sebuah tulisan bahwa kehidupan dunia kesasteraan modern dan keaktifan pengarang/sastrawan Sumsel dalam melahirkan karya-karya mereka sudah dimulai sejak masa sebelum kemerdekaan. Hal itu, kata Trisman, setidak-tidaknya dapat ditandai dan ditelusuri melalui system penerbitan di Sumatera Selatan.
Dalam tulisan ini, saya belum dapat melacak hingga awal abad ke 19, ketika di masa itu sudah ada surat kabar (Soeloeh Sriwijaya) yang terbit di Palembang. Mungkin akan membutuhkan waktu panjang agar bias menggali data atau informasi yang berkaitan dengan denyut nadi sastra di Sumsel. Akan tetapi, paling tidak perkembangan informasi selama tahun 1970 hingga 2000-an ini setidaknya bisa memberi gambaran.
Di masa tahun 1970-an, beberapa daerah di Indonesia, terutama di wilayah Sumatera ada semacam mulainya semangat baru ketika memasuki babak baru dalam rezim Orde Baru yakni kehidupan kesenian “disehatkan” kembali sejalan dengan kemurniannya. Betapa tidak, semasa PKI berkuasa dan mendapat tempat di tahun 1960-an, maka ketika itu kesenian harus dibelokkan menjadi alat kepentingan partai, sastra termasuk di dalamnya.
Semangat bari itu ditandai dengan adanya pertemuan-pertemuan sastra yang diselenggarakan berbagi institusi. Geliat sastra yang terjadi di beberapa daerah itu ternyata di Sumsel tak banyak melakukan aktivitas bersastra seperti diskusi, seminar, pembacaan karya sastra, dan penerbitan buku.
Pengecualian di kota Palembang sebagai ibu kota Propinsi Sumatera Selatan, suasana bersastra, terutama pembacaan puisi memang sedikit ada gaungnya, meski itu tak banyak. Ini tentunya disebabkan minimnya ruang berekspresi bagi perkembangan kepenyairan itu sendiri. Pada masa itu Palembang boleh dibilang minim soal media cetak (surat kabar atau majalah), sehingga tidak ada saluran kreatif bagi penulis puisi dan cerita penedk.
Keterbatasan itu tidak menjadi beberapa penggiat sastra lalu menyerah. Koko Bae (Surya Darmawan) misalnya, dalam usia yang masih muda saat itu berupaya melahirkan antolugi puisi mandirinya Gado-gado Kocak Koko Bae yang diterbitkannya pada tahun 1976 di Palembang. Menurut saya, bahwa antologi Koko Bae itu merupakan buku puisi tunggal yang pertama mengisi tahun 1970-an. Menyusul sembilan tahun kemudian barulah puisi-puisi Zainal Abidin Hanif mengisi Kumpulan Puisi Penyair se-Sumatera yang diterbitkan di Medan, Sumatera Utara. Setidaknya, tahun 1979 itu ada denyut sastra di Sumatera Selatan.
Kemunculan kedua penyair itu, Koko dan Hanif, tentu sangat berbeda latarbelakangnya, jika Koko Bae muncul dari arus bawah, maka Zainal Abidin Hanif muncul dari arus menengah dari lingkungan birokrat. Meminjam istilah B. Yass, tahun-tahun itu ada istilah seniman/sastrawan bilsuit. Dengan kata lain, seniman atau sastrawan jenis bilsuit –di-es-kakan—itu, biasanya lebih leluasa dan didukung ketimbang seniman atau sastrawan yang muncul dari gorong-gorong.
Antara Koko dan Hanif memang berbeda terutama dalam sikap berkesenian/bersastra. Dalam puisi misalnya, kedua penyair itu memiliki visi serta ideologi yang berbeda. Dari segi tema Koko lebih cenderung ke warna protes sosial, sedangkan Hanif lebih menonjol kepada warna ketuhanan.
Tidak berhenti pada penerbitan antologi itu saja, Koko Bae pun mulai membangun tradisi baca puisi di Palembang. Dia membacakan karyanya di depan publik. Apa yang dilakukan oleh Koko Bae tak lain mengimbangi tradisi baca puisi (audio) di RRI melalui Sanggar Sastra yang diasuh oleh Zainal Abidin Hanif. Acara baca puisi yang diasuh oleh Hanif itu memang sangat disukai masyarakat pendengar. Apa yang dilakukan oleh kedua penayir tersebut pada waktu itu merupakan kerja apresiasi yang sangat positif.
Melalui Sanggar Sastra itulah ternyata banyak melahirkan deklamator/deklamatris ketimbang penulis puisi. Program dan pembinaan Sanggar Sastra itu memang tidak diarahkan bagaimana cara menulis puisi misalnya, namun program itu lebih kepada bagaimana melisankan teks puisi dengan baik. Kalaupun adakemudian muncul penulis-penulis puisi yang baik seperti Awu Samidha, Jalius Marbe, Umar Zippin, Emedi Sery, Hendra Kusuma Wijaya, dan Z.A. Narasinga, hal itu disebabkan proses individu masing-masing.
Kemudian memasuki tahun 1980-an, geliat sastra/puisi bertumpu dan terpusat di kota Palembang. Munculnya tradisisi baru berupa festival baca puisi mulai menjadi virus, sehingga kehidupan dunia sastra makin berdenyut.
Publik sastra di Palembang setidaknya mulai akrab dengan nama-nama sastrawan, seperti Taufik Ismail, Rendra, Yudhistira, Abdul Hadi WM, dan lain-lain. Selain itu, karya-karya Umar Zippin, Koko Bae, Jalius Marbe, Narasinga, dan Hendra Kusumawijaya mulai juga akrab di telinga publik sastra Sumatera Selatan, khususnya Palembang.
Di tengah maraknya festival baca puisi sebagai cerminan budaya formalistik, maka di sisi lain turut pula mewarnai dengan terbitnya beberapa antologi puisi tunggal maupun bersama dalam bentuk cetakan buku maupun manuskrip antara lain, Sajak Kumur-kumur karya Yan Romain Hamid, Perjalanan Libeling karya Tommy dan Zulkifli, Sajak Calon Presiden 2100 karya Koko Bae, dan Musi karya Toton dan Iqbal Permana.
Akumulasi dari proses kepenyairan masa itu puncaknya ditandai dengan penerbitan dan pembacaan puisi oleh 10 Penyair (4 Nov. 1988). Sepuluh penyair itu adalah Anwar Putra Bayu, Ade Muchklis T, Jalius Marbe, Dimas Agus Pelaz, JJ. Polong, Tommy, Toton Dai Prmana, Yunen Asmara, Zulkifli Hardy, dan Yos El Yass. Setahun kemudian dilanjutkan lagi dengan penerbitan kumpulan puisi bersama Rendezvouz oleh Anwar Putra Bayu, Dimas Agus Pelaz, dan Toton Dai Permana
Semenjak itulah suasana bersastra mulai berkembang. Munculnya iklim yang mulai kondusif ditandai dengan munculnya koran-koran lokal yang kemudian menyediakan halaman sastra dan budaya. Ditambah lagi juga munculnya kantung-kantung sastra yang berkesinambungan dan tertumpu di kota Palembang. Sementara geliat sastra di tempat lain di wilayah Sumatera Selatan belum muncul kecuali Kabupaten Lahat, dari sini muncul nama Syamsu Indra Usman.HS.
Iklim bersastra di masa tahun 1980-an menambah naik suhunya, untuk seterusnya ada penajaman ketika masuk dan menjalani tahuun 1990-an hinggan yahun 2000-an. Di masa-masa ini puls penrebitan buku puisi makin banyak muncul. Demikian pulan berbagai even dan kegiatan sastra yang bersifat lokal, nasional, bahkan internasional.
Dalam era ini pula muncul nama-nama seperti T. Wijaya, SN. AL Sadjidi, Antonarasoma, Warman. P, Nurhayat Arif Permana, Ahmad Rapani Igma, Firdhamoest (M. Rahman Arpan), Ine Somad (penyair wanita). Tentunya mereka hingga saat ini masih dalam proses pencarian, yang pada gilirannya menuju kematangan masing-masing. Jika memang digeluti secara konsisten.

2. Gerakan Menulis Novel dan Warna Lokal

Dalam tujuh tahun belakangan ini, perkembangan sastra di Sumatera Selatan cukup menarik gejalanya. Setidaknya ada tiga hal yang perlu diketahui. Pertama munculnya beberapa nama pengarang perempuan seperti Ikhtiar Hidayatai (puisi/cerpen), Dahlia (cerpen, puisi, novel), Duhita Ismaya Arimbi (puisi), Indah Rizky Ariani (puisi), Ikhtiar Jannati Arini (puisi), Pipit (puisi), Deris Afriani (cerpen). Selain juga muncul pengarang laki-laki antara lain, untuk skedar menyebut beberapa nama, Anton Bae (puisi, cerpen), Pinasti S. Zuhri (cerpen, puisi), Rendi Fadillah (cerpen, puisi), Sena B. Sulistya (puisi), Nurahman (cerpen), Rizal Bae (cerpen, drama), dan Koko P. Bhirawa.
Kedua adanya kecenderungan beberapa orang beralih menulis novel. Dalam lebih kurang dua tahun belakangan ini Jagad sastra Sumsel sudah memiliki novel antara lain Juaro (T. Wijaya), Angin (Toton Dai Permana), Jungut (Dahlia), Dinding (M. Rahman Arpan), Sekojo (Anton Bae), Pulau Kemaro (Anwar P Bayu), dan Napsiah Matjik (Antonarasoma). Penulisan novel ini sebelumnya sudah dimulai oleh Helmi Apri HZ. (Hutan Karet Gugusan, 1987) dan Kamil (………………………………..).
Ketiga adanya kecenderungan warna lokal dalam beberapa tulisan, baik puisi, cerpen, drama, dan novel. Novel Buntung misalnya, novel ini bercerita soal masa depan Indonesia, sebuah prediksi (materialisme marxis) yang membenturkan kondisi sosial, ekonomi, politik, sejarah, dan kepercayaan (agama) masyarakat Indonesia. Namun dengan mengambil setting “ Indonesia kecil” yakni Palembang, di mana Palembang memiliki sejarah yang panjang dan besar di nusantara, tentunya menjadi contoh ideal buat Indonesia .
Tokoh-tokoh di dalam novel Buntung ini tidak ada yang menonjol. Semua tokoh sama. Cerita terbangun atas peristiwa seperti karakter manusia, ketegangan sosial, ekonomi, dan kepercayaan. Pada akhirnya cerita Buntung ditutup dengan keinginan manusia kembali pada hati nuraninya untuk hidup damai dan tenang. Dan tidak peduli dengan sejarah, Negara, atau peradaban besar.
Tidak peduli dengan Indonesia itu masih ada atau tidak ada. Novel yang ditulis oleh T. Wijaya ini merupakan hasil studi teks sejarah, kultural, dan empirik dengan peristiwa-peristiwa sosial, seperti mengenai perilaku dan sikap para preman Palembang .
Yang menggembirakan untuk perkembangan sastra di Sumatera Selatan saat ini, adalah munculnya novel Jungut (saat ini masih dalam proses cetak) yang ditulis oleh seorang perempuan, Dahlia namanya. Novel itu bercerita tentang perampasan tanah adat seluas 3000 Ha, yang pada gilirannya tana itu menjadi hutan industri. Setting lokal begitu kental dalam novel Jungut.
Gerakan menulis novel dan membangun lokalitas yang terjadi saat ini di Sumatera Selatan, khususnya di Palembang setidaknya “jihad kembali ke akar” yang dilakukan oleh Taufik Wijaya, hasilnya beberapa pengarang mengalami bunting! Hal ini mengingatkan saya pada pandangan Maman S. Mahayana, bahwa penting memproklamirkan semangat lokalitas menjadi sebuah gerakan yang lebih mandiri dalam arti tidak lagi bergantung pada dominasi pusat. (*)

Read More..

MENCARI SOLUSI PENGAJARAN SASTRA INDONESIA



Oleh: Mukhlis A. Hamid, M.S

1. Pendahuluan
Pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal dari hari ke hari semakin sarat dengan berbagai persoalan. Tampaknya, pengajaran sastra memang pengajaran yang bermasalah sejak dahulu. Keluhan-keluhan para guru, subjek didik, dan sastrawan tentang rendahnya tingkat apresiasi sastra selama ini menjadi bukti konkret adanya sesuatu yang tak beres dalam pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal. Hasil wawancara bebas dengan para guru bahasa dan sastra Indonesia dalam berbagai kesempatan selama ini menunjukkan bahwa secara umum, keluhan-keluhan dalam pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal berkisar pada hal-hal berikut.

Pertama, pengetahuan dan kemampuan dasar dalam bidang kesastraan para guru sangat terbatas. Materi kesastraan yang mereka peroleh selama mengikuti pendidikan formal di LPTK sangat terbatas. Materi kuliah kesastraan yang mereka peroleh lebih bersifat teoretis, sedangkan yang mereka butuhkan di lapangan lebih bersifat praktis. Kedua, buku dan bacaan penunjang pembelajaran sastra di sekolah, khususnya di SLTP dan SMU juga terbatas. Keterbatasan buku penunjang ini tidak terjadi di SD karena hampir semua SD, di daerah perkotaan khususnya, setiap tahun menerima kiriman buku bacaan dari Proyek Perbukuan Nasional Depdikbud. Cuma saja, pemanfaatan buku bacaan tersebut tampaknya belum maksimal karena ada faktor lain yang berkait dengan ini, yaitu faktor minat siswa atau subjek didik. Minat belajar dan minat membaca para siswa masih sangat rendah. Faktor ketersediaan waktu, manajemen perpustakaan sekolah, dan dorongan dari guru menjadi penyebab utama dalam hal ini.
Berbagai kendala di atas menyebabkan pengajaran sastra di berbagai jenjang pendidikan formal hingga saat ini belum mencapai sasaran sebagaimana yang diharapkan. Tujuan akhir pembelajaran sastra, penumbuhan dan peningkatan apresiasi sastra pada subjek didik belum menggembirakan. Tulisan ini mencoba mengulas secara ringkas akibat yang muncul dari berbagai faktor di atas beserta alternatif pemecahan untuk kita diskusikan lebih lanjut. Hal ini tentu saja dimaksudkan untuk mencoba mencari titik temu dan kesamaan persepsi kita ke arah peningkatan kualitas pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal pada masa yang akan datang.
2. Pengajaran Sastra di Lembaga Pendidikan Formal: Terasa Ada Terucapkan Tidak
Beranjak dari berbagai keluhan yang dikemukakan di atas, tampaknya ada beberapa hal yang tampaknya perlu dicermati ulang dalam pembelajaran sastra di sekolah dengan menggunakan acuan kurikulum yang diberlakukan saat ini. Pertama, dalam Kurikulum 1994 yang diberlakukan di SD, SLTP, ataupun SMU disebutkan bahwa pengajaran sastra dalam berbagai aspeknya diarahkan pada penumbuhan apresiasi sastra para siswa sesuai dengan tingkat kematangan emosionalnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran sastra idealnya diarahkan pada penumbuhan apresiasi pada siswa. Apresiasi sebagai sebuah istilah dalam bidang sastra dan seni pada umumnya sebenarnya lebih mengacu pada aktivitas memahami, menginterpretasi, menilai, dan pada akhirnya memproduksi sesuatu yang sejenis dengan karya yang diapresiasikan. Karena itu, kegiatan apresiasi tidak hanya bersifat reseptif: menerima sesuatu secara pasif. Tetapi, yang lebih penting, apresiasi juga bersifat produktif: menghasilkan sesuatu secara aktif. Karena itu, pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal idealnya tidak hanya sebatas pada pemberian teks sastra dalam genre tertentu untuk dipahami dan diinterpretasikan oleh siswa (apresiasi reseptif). Pengajaran sastra harus diarahkan pada penumbuhan kemampuan siswa dalam menilai atau mengkritik kelebihan dan kekurangan teks yang ada dan akhirnya, berdasarkan penilaian/kritik tersebut, siswa mampu membuat sebuah teks lain yang lebih bermutu, baik teks yang segenre ataupun tidak.
Mungkin ada di antara kita yang menganggap apa yang diuraikan di atas terlalu ideal, hanya ada dalam angan, tetapi sukar ditemukan di alam nyata. Bagaimana mungkin guru, sebagaimana disebutkan pada bagian awal tulisan ini, yang pengetahuan dan kemampuan dasar kesastraannya sangat terbatas diminta untuk mengajar siswa menghasilkan kritik teks dan bahkan menghasilkan karya sastra dalam berbagai genre. Dalam hal ini, ada dua alternatif yang mungkin dapat dipilih. Pertama, secara personal kita harus menyadarkan diri sendiri bahwa kita secara sadar sudah memilih profesi guru sebagai pekerjaan. Sebagai seorang guru seharusnya kita mengetahui sedikit lebih banyak daripada murid atau subjek ajar. Penyadaran diri ini memacu kita untuk menambah wawasan dan keterampilan dalam bidang yang kita ajarkan secara otodidak. Kedua, kita hanya berperan sebagai organisator dan fasilitator dalam pembelajaran, sedangkan nara sumber bagi anak didatangkan dari luar. Guru dalam hal ini mengundang atau mengajak sastrawan ke sekolah pada waktu tertentu. Bila perlu dan memungkinkan sekali waktu siswa dibawa langsung ke tempat pagelaran sastra. Kesempatan ini dapat digunakan juga untuk berdialog secara langsung dengan sastrawan sehingga secara tidak langsung menumbuhkan kemampuan apresiasi sastra siswa melalui kegiatan yang lebih bersifat produktif di samping yang bersifat reseptif. Langkah ini sekaligus dapat digunakan untuk meninggalkan pemikiran dan strategi “loncat sajalah” dalam pembelajaran sastra di sekolah.
Kedua, ketiadaan buku dan bacaan penunjang pembelajaran sastra di sekolah menyebabkan pelaksanaan pembelajaran aspek sastra menjadi tidak berimbang dengan aspek bahasa. Dalam kurikulum yang sudah disempurnakan saat ini pun materi ajar sastra masih terintegrasi dengan materi kebahasaan karena pelajaran khusus yang bernama “sastra” tidak ada. Yang ada hanyalah pelajaran Bahasa Indonesia atau pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Dalam bagian Rambu-Rambu Pembelajaran dalam kurikulum sebenarnya disebutkan bahwa pengajaran aspek bahasa dan sastra dilaksanakan secara berimbang. Malah, dalam kurikulum pun disebutkan bahwa melalui pendekatan integratif yang dikembangkan saat ini, materi ajar sastra dapat digunakan untuk mengajarkan materi kebahasaan dalam berbagai aspeknya kepada siswa. Bukankah teks sastra dapat dimanfaatkan untuk mengajar kosakata, lafal, kalimat, paragraf, keterampilan membaca, keterampilan menulis, keterampilan berbicara, dan sebagainya.
Kendala ketiadaan buku dan bahan penunjang pembelajaran yang dikeluhkan selama ini sebenarnya dapat ditanggulangi melalui beberapa cara. Pertama, pemanfaatan media massa tercetak, seperti koran harian, mingguan, tabloid, dan majalah yang memuat karya sastra. Sekolah dapat berlangganan secara rutin koran atau majalah tertentu sesuai dengan kemampuan dana sekolah. Bila tidak memungkinkan, guru atau pihak sekolah membeli koran atau majalah tertentu pada hari, minggu, atau bulan tertentu sesuai dengan keperluan. Bila hal ini juga tidak memungkinkan, guru menugasi siswa untuk mencari secara personal atau kelompok teks sastra yang dipublikasikan di media cetak sesuai dengan topik yang diajarkan.Untuk publikasi lokal, harian Serambi Indonesia edisi hari Minggu dan mingguan Aceh Ekspress merupakan dua media yang dapat digunakan untuk itu.
Cara lain yang dapat digunakan ialah pemanfaatan tradisi lisan yang masih berkembang dalam masyarakat. Dalam hal ini, guru meminta siswa untuk membuat rekaman (kaset atau tertulis) folklor sastra yang ada dalam masyarakat di sekitarnya. Hasil rekaman inilah yang dibawa dan dibicarakan di sekolah. Di samping itu, pemanfaatan media elektronik daerah dan nasional (milik pemerintah atau swasta) yang pada hari dan saat tertentu menayangkan ragam sastra tertentu untuk dinikmati oleh pemirsa. Tradisi sastra lokal, pembacaan puisi, musikalisasi puisi, drama, dan sebagainya yang ditayangkan di radio dan televisi ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembelajaran bagi siswa melalui pemberian tugas secara personal ataupun kelompok.
Ketiga, persoalan minat belajar sastra. Faktor minat belajar memang merupakan masalah lain yang sangat mempengaruhi efektivitas pencapaian tujuan pembelajaran sastra di sekolah. Masalah minat ini sangat personal sifatnya sehingga pola penanganannya pun sangat bervariasi. Namun, satu hal yang pasti, faktor penggunaan metode penyajian dan pengevalusian hasil pembelajaran sastra di sekolah erat sekali hubungannya dengan penumbuhan minat belajar pada siswa. Hasil pengamatan dan wawancara dengan rekan-rekan guru menunjukkan bahwa selama ini pembelajaran sastra cenderung bersifat teoretis. Hal ini berhubungan dengan berbagai faktor lain, termasuk faktor kemampuan guru dan fasilitas belajar. Kurikulum sebenarnya tidak menuntut pemberlakuan satu metode tertentu dalam pembelajaran sastra. Kurikulum malah memberikan kesempatan pada guru untuk menggunakan berbagai metode secara bervariasi dalam penyajian materi tertentu sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai. Karenanya, orientasi pada pengajaran konsep teori sastra dan sejarah sastra tampaknya sudah saatnya dikurangi. Yang lebih dipentingkan saat ini tampaknya adalah pengakraban siswa dengan karya sastra sehingga mereka menemukan keasyikan personal dalam membaca, mengkritik, dan mengkreasikan teks sastra. Metode respon-analisis, strata norma, dan pendekatan-pendekatan lain secara bervariasi sudah saatnya digunakan dalam pengkajian teks sastra di kelas. Untuk itu, guru perlu membaca buku dan media cetak lain yang menjelaskan konsep dasar dan teknik penerapan metode atau pendekatan tersebut.
Hal lain yang erat sekali hubungannya dengan penumbuhan minat pada siswa adalah penggunaan teknik evaluasi pembelajaran. Selama ini, evalusi pembelajaran sastra lebih diarahkan pada penguasaan teori dan sejarah sastra. Soal-soal buatan guru ataupun soal standar nasional belum berorientasi sepenuhnya pada evaluasi yang bersifat apresiatif. Evaluasi yang bersifat apresiatif seharusnya beranjak dari hakikat karya sastra sebagai karya yang memungkinkan timbulnya interpretasi yang beragam, yang mungkin berbeda antara satu siswa dengan siswa yang lain. Karenanya, penggunaan soal bentuk isian ataupun soal uraian tampaknya lebih tepat digunakan dalam evaluasi pembelajaran sastra. Penggunaan soal bentuk yang lain, pilihan berganda misalnya, memaksa siswa untuk memilih satu jawaban yang dianggap paling tepat oleh pembuat soal sehingga interpretasi personal siswa tidak berkembang.
3. Penutup
Tampaknya masih banyak yang harus dilakukan untuk menjadikan pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal tidak lagi sarat dengan berbagai masalah pada masa yang akan datang. LPTK negeri dan swasta (FKIP, STKIP, dsb.) sebagai lembaga yang mendidik calon guru sastra sudah saatnya meninjau kembali penetapan jenis dan bobot mata kuliah kesastraan yang diprogramkan per semester, isi silabus per mata kuliah, kualifikasi dosen pengajar mata kuliah kesastraan, dan berbagai hal lain yang berkait dengan perkuliahan kesastraan di LPTK. Kecenderungan untuk menganggap kuliah kesastraan itu mudah, sepele, dan dapat diajarkan oleh siapa saja selama ini sudah saatnya ditanggalkan.
Bagi rekan-rekan guru yang sudah terlanjur memilih menjadi guru bahasa dan sastra Indonesia (dan daerah) di lembaga pendidikan dasar dan menengah sudah saatnya kita mengintrospeksi diri dan bertekad memberikan yang terbaik untuk pengajaran sastra. Kecenderungan untuk pasrah menerima kekurangan dan keterbatasan diri, keterbatasan fasilitas, dan berbagai keterbatasan lain sudah saatnya dibuang. Demikian juga halnya dengan kecenderungan untuk asal masuk kelas, asal anak-anak tidak ribut, asal target kurikulum tercapai, dan berbagai asal-asalan lain. Mestinya kita bangga bila murid kita mampu membaca puisi dengan baik, mampu membaca cerpen dengan benar, mampu mempublikasikan puisi atau cerpen di media cetak tertentu, terlibat dalam kelompok musikalisasi puisi, terlibat dalam kelompok teater, dan berbagai aktivitas kesastraan lainnya, meskipun dari awal kita sadari bahwa pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal tidak dimaksudkan untuk melahirkan penyair, cerpenis, dramawan, dan praktisi sastra lainnya.
Bagi adik-adik yang sudah terlanjur menjadi mahasiswa di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia sudah saatnya kita ubah visi kita tentang sastra (dan bahasa). Menjadi calon guru sastra (dan bahasa) tidak semudah dan tidak senaif yang dibayangkan oleh orang lain di luar kita. Malah, yang sering terjadi di lapangan, kelemahan dalam bidang studi lain dihubungkan dengan kegagalan guru bahasa (dan sastra) dalam menumbuhkan kemampuan membaca, kemampuan bernalar, dan kemampuan-kemampuan lain yang diperlukan dalam bidang studi tersebut. Sebagai calon guru sastra (dan bahasa) pada masa yang akan datang seharusnya kita punya kemampuan yang lebih baik daripada pendahulu kita. Berbagai kemudahan dan fasilitas yang ada dan ditawarkan dalam pembelajaran sastra saat ini hendaknya dimanfaatkan secara maksimal. Bila perlu, kegiatan lain yang berkait dengan kesastraan yang dilaksanakan di luar kampus kita ikuti untuk menambah bekal ilmu dan bekal keterampilan yang kita butuhkan nanti saat menjadi guru.
Semoga ulasan ini menggugah kita semua dalam usaha peningkatan kualitas pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal. Terima kasih.
Daftar Bacaan:
Aminuddin. 1990. Sekitar Masalah Sastra: Beberapa Prinsip dan Model Penerapannya. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh.
Gani, Rizanur. 1988. Pengajaran Sastra Indonesia: Respon dan Analisis. Padang: Dian Dinamika Press.
Nurhayati dan Yuli Karsiah. 2000. “Peningkatan Kemampuan Siswa Memahami Puisi dengan Model Strata Norma” dalam Jurnal Ilmu Pendidikan, Februari 2000. Malang: Universitas Negeri Malang.

Read More..

Read More..

DALAM PERJALANAN PULANG

Cerpen Imron Supriyadi

Pukul 21.30 Wib lebih sedikit, saya dan Minah, isteri saya keluar dari keramaian undangan. Untuk sampai ke depan pintu gerbang rumah itu, sesekali saya dan Minah harus bersalaman, atau paling tidak melempar senyum pada para undangan, yang rata - rata belum saya kenal. Seharusnya, saya dan Minah bahagia, ketika Darwin, salah satu penduduk baru dikompek itu memberi kehormatan bagi manusia semacam kami untuk bertemu dengan para eksekutif, rekanan dan kolega Darwin malam itu. Tapi entahlah, di tengah keceriaan para undangan yang hadir, saya dan Minah justru merasakan kekakuan, yang membuat kami ingin segera meninggalkan rumah itu.

"Mas, para undangan tadi, orang kaya semua?" Tanya Minah setelah kami sudah lima puluh meter keluar dari rumah Darwin.
"Mungkin", Jawab saya pendek.
"Lho kok mungkin!" Minah keheranan.
"Ya, memang begitu! Dalam hidup ini kan memang tidak ada tidak ada yang pasti. Semuanya serba mungkin. Mungkin kaya, mungkin miskin. Yang pasti hanya satu, kamatian. Itu pun masih masih serba mungkin, mungkin hari ini, besok atau mungkin tahun depan".
"Jadi pakaian para undangan itu, belum memastikan kalau mereka orang kaya, begitu?!" Ujar Minah, sembari menarik lengan saya, ketika saya selangkah lebih maju di depannya.
"Mungkin!"
"Kok mungkin terus, Mas?!" Minah agak kesal.
Saya tidak langsung menjawab, sebab suara saya tak mungkin mengimbangi derum mesin mobil yang tiba - tiba melintas di jalan itu.
"Ya, kalau bukan mungkin, lantas apa?!" Ucap saya meningkahi derum mesin mobil yang makin menjauh dari kami.
"Kamu tahu enggak, Min. Pakaian mereka, senyum para undangan, dan kemewahan dirumah Darwin itu, banyak kesemuan hidup yang tidak pasti. Makanya aku bilang mungkin tadi, Min".
Sejenak, Minah menoleh pada saya, lalu matanya kembali pada trotoar jalan yang sebagian banyak termakan oleh arus air yang tak tertampung di got akibat bertumpuknya sampah.
Saya tahu, Minah mungkin masih sulit menerjemahkan ucapan saya, sehingga beberapa saat isteri saya itu harus diam.
"Tapi aku kurang yakin, jika para undangan itu bukan orang kaya. Sebab, dari cara berpakaian dan nada bicaranya saja sudah menunjukkan bahwa mereka kumpulan orang - orang yang berkecukupan".
Minah mencoba berargumen, meskipun baru kali itu ia bertemu dan berkumpul atau berjabat tangan dengan para eksekutif.
"Itu karena kamu memandang dengan pandangan dhahir. Belum tentu pakaian yang dikenakan, kemewahan yang mereka tampilkan itu sebagai wujud dari kehidupan nyata bagi mereka. Mungkin stelan jas itu dapat dari meminjam tetangga, dari studio tailor, dari pinjaman kantor, atau mungkin harus berhutang dengan jaminan sertifikat tanah”.
“Itu sekedar kostum, Min! Kostum! Bukan bentuk kenyataan dari kehidupan mereka."
"Begitu berani Mas mengatakan demikian?!" Minah menimpali.
“Ya! Karena sudah terlalu banyak orang lebih memilih hidup dengan membungkus diri dengan kepalsuan, menyelimuti diri dengan jubah-jubah, menghiasi rona wajahnya dengan bermacam topeng, sehingga dengan semua itu, mereka tidak menyadari bahwa mereka telah menjadi kendaran dari nafsu mereka sendiri. Sementara, hati nurani, akal pikiran, alat pengendali nafsu, justru mereka tinggal jauh di belakang, demi mendapat kebahagiaan sepintas".
Para undangan terlihat masih sibuk dalam kelompok lobinya masing - masing, sementara kami semakin jauh meninggalkan acara menuju bis kota yang antri menjemput penumpang. Mungkin hanya kami yang terlihat berpakaian seadanya dibanding dengan para undangan lainnya. Mungkin perasaan percaya diriku membuat acara ini tak berbeda dengan acara atau selamatan dikampungku dahulu. Tapi, justru kewajaran ini membuat aku tak mau menipu diri.
Di dalam bis kota, saya dan Minah terus berbicara tentang kesan-kesan selama mengikuti acara. Berulangkali saya terus mencoba untuk tetap bertahan lebih lama lagi selama mengikuti acara selamatan dirumah Darwin, tapi, begitulah kenyataannya kami harus lebih dahulu meninggalkan para undangan untuk pulang kerumah kembali ke habitat kami yang sebenarnya.
"Mas, aku tadi malu-malu dan minder sekali. Tapi setelah mendengar penjelasan, Mas, Minah pikir, apa yang mesti membuat kita malu, apalagi minder. Toh, kita tidak mencuri, bahkan kita juga undangan meskipun dengan pakaian yang sangat sederhana. Justru, kita berdosa kalau kita minder. Kita ini tidak ada beda dengan mereka Min. Kata Tuhan, hanya nilai ibadah yang membedakan manusia”.
Minah terus berbicara dengan semangat. Ia tampak percaya diri. Saya mengangguk membenarkan pembicaraan Minah, sesekali saya menggaris bawahi setiap pembicaraan Minah. Semangat dan percaya diri inilah yang menjadi daya tarik utamanya, hingga ketika hendak memutuskan untuk segera menikah walaupun dalam kondisi yang sangat memprihatinkan baik secara mental maupun materi, karena setiap saat harus berhadapan dengan pihak keluarganya yang tidak menyetujui hubungan kami terus berlanjut. Mengingat, saya dinilai tidak cukup layak untuk menghidupi keturunan Raden Mas dan Raden Ayu dari Minah. Tapi, Minah memilh taqdirnya dengan penuh percaya diri.
"Sudah sampai…., Mas !", Minah mengagetkan lamunan.
Tanpa saya sadari, ternyata saya sempat melamun, terbayang masa-masa saat mengambil keputusan untuk segera menikah dengan Minah yang penuh liku - liku dan tantangan. Tapi , disitulah kenangan yang paling manis yang sulit untuk dilupakan.
Kami tepat di mulut Gang Swadaya menuju rumah kami yang hanya berjarak seratus meter dari jalan besar. Sebenarnya jarak antara rumah kami dan rumah Darwin tidak begitu jauh, bahkan dapat ditempuh dengan berjalan kaki saja. Tapi , semenjak banyak berdiri bangunan bertingkat dan kompleks - kompleks dengan pagar beton yang menutup jalan kecil membuat para pejalan kaki harus mengikuti arah jalan raya atau mengikuti rute bis kota yang lebih banyak berputar-putar keliling kompleks baru sampai pada tujuan.
"Dulu, kita tak perlu repot seperti ini. Tapi, semejak kampung sawah berubah komplek perumahan elite dan berdiri kompleks pertokoan kita jadi mutar-mutar kayak kipas angin", Celoteh Minah, tanpa keluh dan sedikti manja.
"Ya, begitulah hidup yang sesungguhnya terjadi. Bukan sesungguhnya yang diingini. Perlombaan materi justru banyak memakan banyak korban. Penduduk kampung sawah yang lahan rumahnya tergusur, kini entah tersebar kemana - mana. Mereka tersingkir oleh derap pembangunan…..", Jawabku pelan sambil merangkul pundak Minah.
"Kalau begitu, mereka korban pembangunan", Tanya Minah.
"Betul, karena mereka tidak berdaya. Mereka tidak mempunyai akses terhadap kebutuhan strategis, sehingga tak mempunyai hak sama sekali terhadap kepentingan mereka sendiri di tengah laju pembangunan. Bahkan lahan kebutuhan fisik merekapun dirampas atas nama pembangunan".
Tanpa terasa, kami telah sampai di rumah kontrakan tempat kami tinggal. Saya langsung merebahkan diri usai berganti pakaian. Sementara, Minah sibuk membenahi rumah, lalu bersiap untuk tidur setelah selesai berbenah diri.
Malam semakin larut untuk menidurkan kami. Tapi kota tak pernah larut dalam kebisingan. Tinggal menunggu cerita untuk esok dalam episode kepalsuan, penindasan atau cerita tentang penggusuran rumah kumuh untuk pertokohan, supermaket atau perumahan elite. Mungkin esok daerah tempat tinggal kami yang menjadi agenda penggusuran.**

Palembang, 12 Agustus 2002

Read More..