DALAM PERJALANAN PULANG

Cerpen Imron Supriyadi

Pukul 21.30 Wib lebih sedikit, saya dan Minah, isteri saya keluar dari keramaian undangan. Untuk sampai ke depan pintu gerbang rumah itu, sesekali saya dan Minah harus bersalaman, atau paling tidak melempar senyum pada para undangan, yang rata - rata belum saya kenal. Seharusnya, saya dan Minah bahagia, ketika Darwin, salah satu penduduk baru dikompek itu memberi kehormatan bagi manusia semacam kami untuk bertemu dengan para eksekutif, rekanan dan kolega Darwin malam itu. Tapi entahlah, di tengah keceriaan para undangan yang hadir, saya dan Minah justru merasakan kekakuan, yang membuat kami ingin segera meninggalkan rumah itu.

"Mas, para undangan tadi, orang kaya semua?" Tanya Minah setelah kami sudah lima puluh meter keluar dari rumah Darwin.
"Mungkin", Jawab saya pendek.
"Lho kok mungkin!" Minah keheranan.
"Ya, memang begitu! Dalam hidup ini kan memang tidak ada tidak ada yang pasti. Semuanya serba mungkin. Mungkin kaya, mungkin miskin. Yang pasti hanya satu, kamatian. Itu pun masih masih serba mungkin, mungkin hari ini, besok atau mungkin tahun depan".
"Jadi pakaian para undangan itu, belum memastikan kalau mereka orang kaya, begitu?!" Ujar Minah, sembari menarik lengan saya, ketika saya selangkah lebih maju di depannya.
"Mungkin!"
"Kok mungkin terus, Mas?!" Minah agak kesal.
Saya tidak langsung menjawab, sebab suara saya tak mungkin mengimbangi derum mesin mobil yang tiba - tiba melintas di jalan itu.
"Ya, kalau bukan mungkin, lantas apa?!" Ucap saya meningkahi derum mesin mobil yang makin menjauh dari kami.
"Kamu tahu enggak, Min. Pakaian mereka, senyum para undangan, dan kemewahan dirumah Darwin itu, banyak kesemuan hidup yang tidak pasti. Makanya aku bilang mungkin tadi, Min".
Sejenak, Minah menoleh pada saya, lalu matanya kembali pada trotoar jalan yang sebagian banyak termakan oleh arus air yang tak tertampung di got akibat bertumpuknya sampah.
Saya tahu, Minah mungkin masih sulit menerjemahkan ucapan saya, sehingga beberapa saat isteri saya itu harus diam.
"Tapi aku kurang yakin, jika para undangan itu bukan orang kaya. Sebab, dari cara berpakaian dan nada bicaranya saja sudah menunjukkan bahwa mereka kumpulan orang - orang yang berkecukupan".
Minah mencoba berargumen, meskipun baru kali itu ia bertemu dan berkumpul atau berjabat tangan dengan para eksekutif.
"Itu karena kamu memandang dengan pandangan dhahir. Belum tentu pakaian yang dikenakan, kemewahan yang mereka tampilkan itu sebagai wujud dari kehidupan nyata bagi mereka. Mungkin stelan jas itu dapat dari meminjam tetangga, dari studio tailor, dari pinjaman kantor, atau mungkin harus berhutang dengan jaminan sertifikat tanah”.
“Itu sekedar kostum, Min! Kostum! Bukan bentuk kenyataan dari kehidupan mereka."
"Begitu berani Mas mengatakan demikian?!" Minah menimpali.
“Ya! Karena sudah terlalu banyak orang lebih memilih hidup dengan membungkus diri dengan kepalsuan, menyelimuti diri dengan jubah-jubah, menghiasi rona wajahnya dengan bermacam topeng, sehingga dengan semua itu, mereka tidak menyadari bahwa mereka telah menjadi kendaran dari nafsu mereka sendiri. Sementara, hati nurani, akal pikiran, alat pengendali nafsu, justru mereka tinggal jauh di belakang, demi mendapat kebahagiaan sepintas".
Para undangan terlihat masih sibuk dalam kelompok lobinya masing - masing, sementara kami semakin jauh meninggalkan acara menuju bis kota yang antri menjemput penumpang. Mungkin hanya kami yang terlihat berpakaian seadanya dibanding dengan para undangan lainnya. Mungkin perasaan percaya diriku membuat acara ini tak berbeda dengan acara atau selamatan dikampungku dahulu. Tapi, justru kewajaran ini membuat aku tak mau menipu diri.
Di dalam bis kota, saya dan Minah terus berbicara tentang kesan-kesan selama mengikuti acara. Berulangkali saya terus mencoba untuk tetap bertahan lebih lama lagi selama mengikuti acara selamatan dirumah Darwin, tapi, begitulah kenyataannya kami harus lebih dahulu meninggalkan para undangan untuk pulang kerumah kembali ke habitat kami yang sebenarnya.
"Mas, aku tadi malu-malu dan minder sekali. Tapi setelah mendengar penjelasan, Mas, Minah pikir, apa yang mesti membuat kita malu, apalagi minder. Toh, kita tidak mencuri, bahkan kita juga undangan meskipun dengan pakaian yang sangat sederhana. Justru, kita berdosa kalau kita minder. Kita ini tidak ada beda dengan mereka Min. Kata Tuhan, hanya nilai ibadah yang membedakan manusia”.
Minah terus berbicara dengan semangat. Ia tampak percaya diri. Saya mengangguk membenarkan pembicaraan Minah, sesekali saya menggaris bawahi setiap pembicaraan Minah. Semangat dan percaya diri inilah yang menjadi daya tarik utamanya, hingga ketika hendak memutuskan untuk segera menikah walaupun dalam kondisi yang sangat memprihatinkan baik secara mental maupun materi, karena setiap saat harus berhadapan dengan pihak keluarganya yang tidak menyetujui hubungan kami terus berlanjut. Mengingat, saya dinilai tidak cukup layak untuk menghidupi keturunan Raden Mas dan Raden Ayu dari Minah. Tapi, Minah memilh taqdirnya dengan penuh percaya diri.
"Sudah sampai…., Mas !", Minah mengagetkan lamunan.
Tanpa saya sadari, ternyata saya sempat melamun, terbayang masa-masa saat mengambil keputusan untuk segera menikah dengan Minah yang penuh liku - liku dan tantangan. Tapi , disitulah kenangan yang paling manis yang sulit untuk dilupakan.
Kami tepat di mulut Gang Swadaya menuju rumah kami yang hanya berjarak seratus meter dari jalan besar. Sebenarnya jarak antara rumah kami dan rumah Darwin tidak begitu jauh, bahkan dapat ditempuh dengan berjalan kaki saja. Tapi , semenjak banyak berdiri bangunan bertingkat dan kompleks - kompleks dengan pagar beton yang menutup jalan kecil membuat para pejalan kaki harus mengikuti arah jalan raya atau mengikuti rute bis kota yang lebih banyak berputar-putar keliling kompleks baru sampai pada tujuan.
"Dulu, kita tak perlu repot seperti ini. Tapi, semejak kampung sawah berubah komplek perumahan elite dan berdiri kompleks pertokoan kita jadi mutar-mutar kayak kipas angin", Celoteh Minah, tanpa keluh dan sedikti manja.
"Ya, begitulah hidup yang sesungguhnya terjadi. Bukan sesungguhnya yang diingini. Perlombaan materi justru banyak memakan banyak korban. Penduduk kampung sawah yang lahan rumahnya tergusur, kini entah tersebar kemana - mana. Mereka tersingkir oleh derap pembangunan…..", Jawabku pelan sambil merangkul pundak Minah.
"Kalau begitu, mereka korban pembangunan", Tanya Minah.
"Betul, karena mereka tidak berdaya. Mereka tidak mempunyai akses terhadap kebutuhan strategis, sehingga tak mempunyai hak sama sekali terhadap kepentingan mereka sendiri di tengah laju pembangunan. Bahkan lahan kebutuhan fisik merekapun dirampas atas nama pembangunan".
Tanpa terasa, kami telah sampai di rumah kontrakan tempat kami tinggal. Saya langsung merebahkan diri usai berganti pakaian. Sementara, Minah sibuk membenahi rumah, lalu bersiap untuk tidur setelah selesai berbenah diri.
Malam semakin larut untuk menidurkan kami. Tapi kota tak pernah larut dalam kebisingan. Tinggal menunggu cerita untuk esok dalam episode kepalsuan, penindasan atau cerita tentang penggusuran rumah kumuh untuk pertokohan, supermaket atau perumahan elite. Mungkin esok daerah tempat tinggal kami yang menjadi agenda penggusuran.**

Palembang, 12 Agustus 2002