SASTRA TUTUR SUMSEL SEMAKIN DITINGGALKAN



Sastra tutur, yang merupakan kesenian tradisional asli Sumatera Selatan, saat ini semakin ditinggalkan masyarakat. Para penutur yang berusia lanjut sudah banyak yang meninggal, sedangkan generasi muda tidak tertarik untuk mengembangkannya.Jika tidak ada langkah-langkah penyelamatan, kekayaan lokal yang bermuatan nilai-nilai hidup itu akan punah dan tinggal menjadi sejarah. Wakil Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Sumatera Selatan (DKSS) Yudhy Syarofie di Palembang, Kamis (5/5), mengatakan, kepunahan sastra tutur hanya tinggal menunggu waktu.

Saat ini sastra tutur hanya dipentaskan pada pesta adat, saat-saat tertentu, atau pada Festival Sriwijaya setahun sekali. Di luar itu, tak banyak lagi pertunjukan sastra tutur.
"Generasi muda sekarang enggan menekuni atau menonton sastra tutur. Pertunjukan pop masih lebih atraktif bagi mereka, seperti pertunjukan dangdut, musik pop, atau organ tunggal. Tayangan di televisi juga lebih diminati," katanya.
Sastra tutur merupakan seni mendongeng, yang dituturkan di tengah masyarakat Sumsel sejak beratus-ratus tahun lalu. Sastra itu berisi cerita-cerita yang bermuatan nilai-nilai kearifan lokal, diceritakan oleh seorang penutur dengan atau tanpa iringan musik. Pertunjukan dilakukan dengan bahasa Melayu untuk pesta adat, hajatan besar, atau acara lain.
Menurut penyair asal Palembang, Jaid Saidi, sastra tutur di Sumsel diekspresikan dalam berbagai bentuk dengan nama khusus, sesuai dengan tradisi daerah masing-masing. Bermacam-macam sastra tutur itu, antara lain Njang Panjang dan Bujang Jelihim yang berkembang di daerah Ogan Komering Ulu, Jelihiman di Ogan Ilir, dan Senjang di Musi Banyuasin.
Sastra tutur bernama Geguritan, Betadur, dan Tangis Ayam tumbuh di Lahat, Nyanyian Panjang dan Bujang Jemaran terdapat di Ogan Komering Ilir, sedangkan di Palembang terdapat dongeng dan denggung.
Pengamat sastra, Latifah Ratnawati, mengungkapkan, saat ini guru-guru sekolah sudah jarang yang memahami sastra lisan (tutur), seperti pitutur Bujang Jelihim dari daerah Ogan Komering Ilir, pertunjukan cerita Putri Dayang Merindu asal Palembang, dan dongeng Putri Pinang Masak. "Dari survei yang pernah kami lakukan, hanya 40 persen dari sekitar 100 guru SD di Sumse yang mengetahui nama-nama sastra tradisi itu. Padahal, karya-karya itu telah hidup di masyarakat Sumsel sejak ratusan tahun silam," katanya.
Jika kekayaan tradisi itu benar-benar punah, masyarakat Sumsel akan kehilangan akar budaya yang membentuk karakternya. Nilai-nilai yang terkandung dalam sastra tutur dapat digunakan untuk menularkan kearifan lokal kepada generasi muda.
Menurut Yudhi, sastra tutur mengandung nilai-nilai filosofis penting dalam kehidupan. Dongeng Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat, misalnya, mengajarkan anak-anak agar menyelesaikan masalah dengan jalan damai dan menghindari tindakan menang sendiri. (iam/kompas)

Read More..

Ketika Iblis Membentangkan Sajadah

Cerpen Imron Supriyadi

Siang menjelang dzuhur. Salah satu Iblis ada di Masjid. Kebetulan hari itu Jum’at. Saat berkumpulnya orang. Iblis sudah ada dalam Masjid. Ia tampak begitu khusyuk. Orang mulai berdatangan. Iblis menjelma menjadi ratusan bentuk. Ia masuk dari segala penjuru. Masuk lewat jendela, pintu, ventilasi, atau masuk lewat lobang pembuangan air. Pada setiap orang, Iblis juga masuk lewat telinga. Masuk ke dalam syaraf mata. Masuk ke dalam urat nadi, lalu menggerakkan denyut jantung setiap para jamaah yang hadir. Iblis juga menempel di setiap sajadah.
“Hai, Blis!”, Panggil Kiai, ketika baru masuk ke Masjid itu.
Iblis merasa terusik.
“Kau kerjakan saja tugasmu, Kiai. Tidak perlu kau larang-larang saya. Ini hak saya untuk menganggu setiap orang dalam Masjid ini!”, Jawab Iblis Ketus.
“Ini rumah Tuhan, Blis! Tempat yang suci. Kalau kau mau ganggu, kau bisa diluar nanti!”, Kiai mencoba mengusir.
“Kiai, hari ini, adalah hari uji coba sistem baru”.
Kiai tercenung.
“Saya sedang menerapkan cara baru, untuk menjerat kaummu”.
“Dengan apa?”
“Dengan sajadah!”.
“Apa yang bisa kau lakukan dengan sajadah, Blis?”
“Pertama, saya akan masuk ke setiap pemilik saham industri sajadah. Mereka akan saya jebak dengan mimpi untung besar. Sehingga, mereka akan tega memeras buruh untuk bekerja dengan upah di bawah UMR, demi keuntungan besar!”
“Ah, itu kan memang cara lama yang sering kau pakai. Tidak ada yang baru, Blis”.
“Bukan itu saja Kiai”.
“Lalu?”
“Saya juga akan masuk pada setiap desainer sajadah. Saya akan menumbuhkan gagasan, agar para desainer itu membuat sajadah yang lebar-lebar”.
“Untuk apa?”
“Supaya, Saya lebih berpeluang untuk menanamkan rasa egois di setiap kaum yang Kau pimpin, Kiai!”
“Selain itu, Saya akan lebih leluasa, masuk dalam barisan sholat. Dengan sajadah yang lebar, maka barisan shaf akan renggang. Dan saya ada dalam ke-renganggan itu. Di situ Saya bisa ikut membentangkan sajadah.
Dialog Iblis dan Kiai sesaat terputus.
Dua orang datang, dan keduanya membentangkan sajadah. Keduanya berdampingan. Salah satunya, memiliki sajadah yang lebar. Sementara, satu lagi, sajadahnya lebih kecil. Orang yang punya sajadah lebar, seenaknya saja membentangkan sajadahnya. Tanpa melihat kanan-kirinya. Sementara, orang yang punya sajadah lebih kecil, tidak enak hati jika harus mendesak jamaah lain yang sudah lebih dulu datang.
Tanpa berpikir panjang, pemilik sajadah kecil, membentangkan saja sajadahnya. Sehingga, sebagian sajadah yang lebar, tertutupi sepertiganya. Keduanya masih melakukan sholat sunnah.
“Nah, lihat itu Kiai!”, Iblis memulai dialog lagi.
“Yang mana?”
“Ada dua orang yang sedang sholat sunnah itu. Mereka punya sajadah yang berbeda ukuran. Lihat sekarang, aku akan masuk diantara mereka”.
Iblis lenyap. Ia sudah masuk ke dalam barisan shaf.
Kiai hanya memperhatikan kedua orang yang sedang melakukan sholat sunah. Kiai akan membuktikan apa yang dikatakan Iblis.
Pemilik sajadah lebar, rukuk. Kemudian sujud. Tetapi, sembari bangun dari sujud, ia membuka sajadahya yang tertumpuk, lalu meletakkan sajadahnya, diatas sajadah yang kecil. Hingga sajadah yang kecil, kembali berada di bawahnya.
Ia kemudian berdiri. Sementara, pemilik sajadah yang lebih kecil, melakukan hal serupa. Ia juga membuka sajadahnya, karena sajadahnya ditumpuk oleh sajadah yang lebar. Itu berjalan sampai akhir sholat. Bahkan, pada saat sholat wajib juga, kejadian-kejadian itu beberapa kali terihat di beberapa masjid. Orang lebih memilih menjadi diatas, ketimbang menerima dibawah. Diatas sajadah, orang sudah berebut kekuasaan atas lainnya. Siapa yang memiliki sajadah lebar, maka, ia akan meletakkan sajadahnya diatas sajadah yang kecil. Sajadah sudah sudah dijadikan Iblis sebagai pembedaan kelas. Pemilik sajadah lebar, diindentikan sebagai para pemilik kekayaan, yang setiap saat, harus lebih diatas dari pada yang lain. Dan pemilik sajadah kecil, adalah kelas bawah, yang setiap saat akan selalu menjadi sub-ordinat dari orang yang berkuasa. Diatas sajadah, Iblis telah mengajari orang selalu menguasai orang lain.
“Astaghfirullahal ‘adziiiim”, Ujar Kiai pelan.
**
Ba’da Subuh. Orang-orang sudah beranjak dari Masjid. Mereka menuju ke rumahnya masing-masing. Dan beberapa menit, atau beberapa jam kemudian, masing-masing orang sudah disibukkan oleh pekerjaan keseharian. Apalagi kalau bukan untuk mempertahankan hidup. Masjid menjadi lengang dari jamaah. Sementara, Iblis tetap duduk bersimpuh di depan mihrab. Ia begitu khusyuk. Seolah, Iblis sedang bertaqorrub kepada Tuhan. Dalam keheningan, isak tangis Iblis terdengar samar. Sesekali, Iblis menyeka air matanya yang ber-urai.
Tak lama kemudian, Kiai datang. Iblis tak menghiraukan kedatangan Kiai. Sesaat, ia memperhatikan Iblis itu. Tetapi kemudian, Kiai mengalihkan pandangannya ke hadapan sajadah, dan melakukan sholat sunnah.
Usai sholat, Kiai kembali memperhatikan gerak-gerik Iblis, yang masih tetap khusyuk. Dan tidak berapa lama, Iblis mengusap mukanya dengan kedua telapak tangannya. Ia baru selesai melakukan ritual ke-agamaan. Matanya masih sembab. Karena sejak pagi tadi, Iblis itu menangis.
“Blis, Aku ini heran”, Kata Kiai setelah duduk di sebelah Iblis.
“Kenapa, Kiai?”
“Kau ini aneh. Kau kan mahluk yang diusir dari Sorga oleh Tuhan. Tetapi, hari ini, Kau menangis sejadi-jadinya di hadapan Tuhan”.
Mata Iblis berbinar. Ia merasa berhasil menarik perhatian Kiai.
“Saya hanya berusaha, Kiai. Siapa tahu, dengan tangisan ini, saya dan kawan-kawan bisa mendapat pengampunan”.
“Tetapi, bagaimana bisa Kau menangis, sementara, selama ini Kau sudah menanam kebencian terhadap Tuhan?”
“Ah, Kiai bisa saja. Tangisan ini kan konsekuensi dari pangakuan dosa saya”.
Kiai tercenung sesaat.
“Tapi, Blis. Selama ini, saya tidak pernah bisa menangis dalam beribadah?”
“Ya, mungkin, anda belum khsusyuk”.
Kiai tersentak.
Selama ini, orang desa selalu meng-elu-elukan beribadahnya Kiai. Tetapi, hari itu, Kiai dikatakan oleh Iblis, Kiai tidak khusyuk beribadah. Ini pukulan berat bagi Kiai. Tetapi, sekalipun dadanya sesak, Kiai tetap mencoba bijak.
“Kalau boleh tahu, kenapa kau bisa menangis?”, Kata Kiai mengatur emosi.
“Ya, karena saya pernah melakukan dosa”, Jawab Iblis enteng.
“Dosa yang bagaimana?”
“Dosa apa saja. Bisa membunuh, minum-minuman keras, atau juga berzina”.
Kiai kembali tersentak.
Sebab, seumur hidup-nya, Kiai ini belum pernah melakukan dosa yang disebut Iblis.
“Apakah, kalau saya belum pernah melakukan dosa yang kau sebut tadi, kemudian, saya tidak bisa menangis setiap sehabis sholat?”
“Wah, ya jelas. Kalau sudah melakukan dosa, kan ada penyesalan. Nah, baru kemudian, Kiai bisa menangis pada saat beribadah atau setiap sehabis sholat”, Kata Iblis mulai membuat jebakan.
“Tapi, saya tidak berani berzina. Itu larangan Tuhan. Itu dosa besar?”
“Membunuh!”, Iblis memberi alternatif.
“Wah, apalagi membunuh! Saya ini penakut!”
“Ya, kalau begitu, minum-minuman keras saja. Ini yang paling ringan”.
Kiai tercenung lagi.
“Bagaimana? kalau Kiai setuju, nanti malam, saya akan jemput Kiai. Saya akan tunjukkan bagaimana, Kiai harus mulai melakukan dosa, agar nanti, kalau Kiai sholat, Kiai bisa menangis seperti saya”.
**
Waktu Isyak berlalu. Iblis dan Kiai keluar dari Masjid. Orang-orang sekitar hanya menatap heran, ketika ada warga baru yang sudah demikian akrab dengan Kiai mereka. Tapi, tak seorang pun yang berani melarang. Mereka tidak bisa berbuat banyak. Sementara, Iblis sudah membawa Kiai menembus malam.
Pada sebuah Kedai, agak jauh dari perdusunan, tempat Kiai tinggal. Banyak Laki-laki dan perempuan berkumpul di situ. Kata-kata kotor, dan suara manja perempuan kampung yang siap melayani para lelaki, makin jelas terdengar. Bermacam botol minuman keras tersedia di Kedai itu.
“Bagaimana Kiai?”
“Aduh, gila Kau, Blis!”
“Mau minum apa?”, Tanya Iblis ketika keduanya sudah duduk.
“E…e….”
“Tidak perlu gugup Kiai. Nanti juga terbiasa!”
Dua buah botol dipesan. Iblis menatap Kiai. Kiai tampak ragu. Sementara, Iblis sudah menuangkan minuman ke dalam gelas, yang ada di hadapan Kiai.
“Ayolah, Kiai. Setelah minum ini, saya yakin, Kiai bisa lebih khusyuk, dan bisa menangis, ketika nanti Kiai sholat”.
Sedikit demi sedikit, Kiai terkena rayuan Iblis. Tak berapa lama, Kiai sudah mabuk berat. Iblis beri kode pada salah satu perempuan. Salah satu perempuan, kemudian membawa Kiai ke satu rumah, tepat di belakang Kedai.
Langit gelap. Mata Kiai juga menjadi gelap. Sementara, desah napas Kiai dan perempuan itu menjadi satu gerakan erotis yang menegangkan. Keringat bercucuran. Detak jantung keduanya berdegup kencang. Petikan ayat, hadits dan mutiara hikmah, tak lagi mampu membentengi hasrat Kiai. Yang ada hanya napas yang memburu.
Sepertiga malam terakhir, Kiai terbangun. Di sebelahnya, ada perempuan tergolek tanpa busana. Kiai terkejut. Ia jadi blingsatan. Ia coba ucapkan kata Istighfar, tetapi, lidahnya kelu. Beberapa kali, Kiai mencoba sebut nama Tuhan. Tapi ia gagal. Ada ketakutan yang tiba-tiba menyusup. Kiai tak sempat lagi, mengingat rentetan kejadian, yang telah membawanya ke tempat itu.
Matanya menjadi gelap. Hatinya juga tersumbat. Sebuah pisau pemotong buah di atas meja ia hunjamkan ke perut perempuan itu. Seketika, jeritan dan lengkingan kesakitan perempuan itu membangunkan warga sekitar. Warga sudah berbondong-bondong. Menggedor dan berkerumun mengitari tempat Kiai dan perempuan itu tidur.
Pagi tiba. Kiai sudah berada di tiang gantungan. Sementara, dari kejauhan, Iblis tertawa lebar.
“Kurang ajar kau Iblis. Kau telah menipuku!” Teriak Kiai protes.
“Kiai, tak ada gunanya kau memprotes. Kau sudah masuk dalam jeratanku. Kau harus menjalani hukuman berat”.
“Coba Kau selamatkan aku dari tiang gantungan ini, Blis!”
Iblis tertawa. Kali ini lebih lebar.
“Kalau Kiai ingin selamat dari tiang gantungan itu, bersaksilah atas namaku. Lalu tundukkan muka pada ku. Itu sebagai pengakuan Kiai, bahwa Kiai telah mau dan rela menjadi hambaku!”
“Aku adalah hamba Tuhan! Aku bukan hambamu!”
“Tapi pada posisi seperti sekarang, yang dibutuhkan Kiai bukan Tuhan, tetapi aku, yang telah membawa Kiai ke tiang gantungan. Maka segeralah tundukkan muka dan bersaksilah atas namaku!”
Kiai terdiam. Kepalanya tertunduk.

Tetapi, iblis tetap Iblis. Ia tak pernah menyelamatkan Kiai dari tiang gantungan. Iblis lenyap. Kembali pada alam-nya. Ia berlari membawa kemenangan. Dan besok atau lusa, Iblis akan kembali membentangkan sajadah**

lpm ukhuwah-iain rf-Palembang,
30 November 2001

Read More..