Cerpen Imron Supriyadi
Cik Pay. Begitu orang banyak memanggil perempuan itu. Wajahnya putih. Rambutnya mayang mengurai. Dagunya seperti lebah bergantung. Jalannya seperti harimau lapar; gemulai. Alisnya nanggal sepisan; seperti semut berbaris yang mendapat aba-aba Nabi Sulaiman. Sorot matanya bak rembulan terang di malam lima belas purnama. Setiap lelaki yang menatapnya akan tertunduk oleh keteduhan pandangannya. Ucapannya bisa meluluhlantakkan gemuruh dan emosi yang menggumpal. Itulah Cik Pay yang kukenal di kampung kami.
Cik, adalah panggilan bagi warga keturunan rumpun melayu. Bagi marga Besemah Sumatra Selatan, Cik menjadi panggilan bagi bibi, tante atau paman. Tetapi di kampung kami, panggilan Cik bagi perempuan itu tak punya sejarah dengan rumpun melayu. Hanya karena kebiasaan warga saja sehingga setiap perempuan dewasa yang belum dikenal namanya sering di panggil Cik. Ini sama halnya warga suku jawa yang memanggil mbak bagi perempuan yang baru dikenalnya. Sementara di kampung kami, Pay adalah nama belakang anjing yang enam bulan lalu patah kaki akibat tergilas sebuah mobil. Anjing itu terguling-guling di aspal. Tetapi mobil terus melaju tak pandang kasihan terhadap penderitaan Pay.
“Kaing! Kaing!” lolongan anjing itu menembus ruang-ruang kosong diantara suara derum mesin mobil di jalan Sudirman Palembang. Ada jeritan yang menyayat akibat menahan rasa sakit. Tetapi tak sesiapa yang kemudian menolong, ketika kemudian anjing itu tergelepar di bawah trotoar. Perempuan yang kemudian dipanggil Cik Pay secara tiba-tiba muncul dari kerumunan orang. Cik Pay adalah salah satu pelacur yang tinggal di kampung kami. Tak ada beban sedikit pun ketika Cik Pay kemudian mengambil anjing itu dan dibawanya ke rumah. Sejak perempuan itu merawat dan memelihara anjing, akhirnya warga banyak memanggil perempuan itu dengan Cik Pay, alias bibi-nya anjing Pay. Tapi anehnya, julukan itu disambut dengan senyum. Tak ada rona yang menggambarkan dirinya dihempas keterhinaan dengan sebutan; bibi anjing.
Ulah aneh Cik Pay ini kontan saja menjadi perbincangan warga di kampung kami. Tak urung juga, keanehan Cik Pay yang membawa anjing ke rumahnya di dengar para tokoh masyarakat, agama dan unsur pemerintah. Bahkan kampung sebelah juga turut memperbincangkan Cik Pay. Satu hari setelah kejadian, warga merangsek ke rumah kepala lingkungan di kampung kami.
”Saudara, saudara! Kelakuan Cik Pay di kampung ini menjadi pertanda, bahwa di kampung kita akan segera datang musibah besar. Oleh sebab itu, saya selaku kepala lingkungan akan segera memberi teguran kepada Cik Pay, sebagaimana permintaan warga,” ujar War, berpidato di hadapan warga, menanggapi perilaku Cik pay.
Di kampung kami, anjing dianggap binatang najis. Oleh sebab itu, tak ada anjing yang bisa keluar dengan selamat dari kampung kami. Sudah pasti, setiap anjing yang masuk akan menjadi bangkai. Sampai saat ini tak banyak warga yang mengetahui latarbelakang, mengapa anjing begitu dibenci di kampung kami. Tetapi sebagian warga mengatakan, kebencian warga terhadap anjing di kampung kami, dilatari oleh sejarah pertikaian anjing dan kucing. Sebagian tokoh agama menyebut, kucing adalah mahluk yang sangat dikasihi nabi. Sementara dalam sejarah, hampir tidak ada cerita damai antara anjing dan kucing. Keduanya selalu berkelahi. Dengan sejarah itu, kemudian sebagian warga menterjemahkan; membiarkan anjing di kampung kami, sama halnya memelihara musuh kucing yang sangat dikasihi nabi.
Protes warga di kampung kami memang terasa aneh. Di saat Cik Pay memelihara dan merawat anjing yang cacat, mendapat hujatan warga. Tetapi warga di kampung kami tidak pernah protes terhadap film Tom and Jerry, yang mempertontonkan kucing yang selalu menjadi bulan-bulanan sekelompok tikus. Padahal penghinaan kucing dalam film ini lebih ideologis ketimbang sekedar protes pada Cik Pay. Tetapi aku kemudian cukup maklum. Sebab, meskipun dalam otak manusia berisi angka, huruf dan simbol, tetapi hanya 20 persen sebagian manusia yang bisa menangkap simbol-simbol, apakah kehinaan dan simbol keagungan. Sehingga simbol kehinaan kucing dalam film Tom and Jerry tak juga menjadi perhatian warga.
Kebanyakan warga di kampung kami lebih melihat sesuatu dari satu sudut pandang, sehingga yang muncul bukan makna dibalik simbol, tetapi hanya angka dan huruf. Oleh sebab itu, ketika melihat Cik Pay memelihara anjing yang sakit, kontan saja menimbulkan sinisme warga. Masalahnya sederhana, sebagian warga di kampung kami hanya melihat dari kenyataan yang didepan mata. Tak pernah diantara warga kampung kami mencoba melihat dai sudut pandang yang berbeda, apalagi harus menggunakan teori berpikir memutar, melihat dibalik simbol dari Cik Pay dan anjingnya.
Hanya tiga hari Cik Pay berhasil mempertahankan anjing di rumahnya. Setelah itu Cik Pay tak kuasa menahan desakan warga yang meminta agar anjing piaraannya harus segera dibuang. Sebagian warga meminta agar Pay segera dibunuh. Tetapi Cik Pay keberatan.
“Sekarang pilih, anjing itu harus kami bunuh, atau kamu berdua yang keluar dari kampung kami!” ujar warga setengah mengusir.
“Kamu tetap boleh tinggal di kampung kami, tetapi Pay harus mati!” kata lainnya.
Perilaku warga di kampung kami terhadap Cik Pay, mengingatkan aku pada persitiwa serupa ketika aku masih tinggal di India. Tepatnya di Distrik Jaipur, India Timur. Bedanya, kalau di kampung kami sekarang, anjing dan perempuan yang merawatnya diperlakukan hina. Tetapi di negara bagian Orissa, India Timur itu justru terjadi pernikahan antara Sagula, bayi laki-laki berumur 2 tahun dan Jyoti, seekor anjing lokal. Yang aku tahu, pernikahan Sagula dan Jyori adalah bagian tradisi dari adat Suku Munda. Menurut tradisi mereka, pernikahan Sagula dengan anjing, kelak ketika Sagula dewasa akan terlindungi dari serangan binatang liar, seperti harimau dan sejenisnya. Tapi meski sudah menikah dengan Jyoti, Sagula tetap akan bisa menikah dengan perempuan yang dicintainya tanpa harus bercerai dengan Jyoti. Dengan pernikahan ini, penampilan Sagula diyakini akan membuat binatang liar, seperti harimau, takut menyerangnya. Para dewa dari suku juga akan memberkati dan melindungi Sagula roh jahat.
”Kami melakukan perkawinan ini untuk menghalau segala kutukan yang menimpanya dan kami,” ujar Sanarumala Munda, ayah Sagula. Bayi yang baru tumbuh gigi ini digiring ke sebuah kuil desa, di sana seorang pemuka agama mengawinkannya dengan Jyoti, anjing milik tetangga pengantin laki-laki.
Peristiwa serupa terjadi pula ketika aku berkunjung ke Dhanbad. Masih di India. Seorang gadis berusia 7 tahun warga kota pertambangan Dhanbad, Negara Bagian Bihar, India Timur, menikah dengan seekor anjing liar. Ini adalah bagian dari ritual untuk melenyapkan pengaruh buruk yang ada dalam dirinya. Adanya ciri-ciri khusus pada susunan geligi Shivam Munda, bocah perempuan itu. Dianggap oleh orang-orang suku Santhal, sebagai pertanda buruk. Kundan Munda, ibu Shivam mengatakan, anaknya menikah dengan anjing hanya untuk menghilangkan kekuatan jahat yang bisa menyebabkan kesialan. Ritual menikah dengan anjing harus dilakukan agar kelak ia bisa menikah dengan seorang laki-laki. Seperti pernikahan biasa, antarwarga suku Santhal, perkawinan Shivam Munda dengan seekor anjing geladak juga berlangsung sampai 3 hari-3 malam dan dihadiri segenap kerabat, teman dan handai taulan.
Terhadap Cik Pay, aku tidak tahu persisnya apakah dia juga akan menjalani ritual yang sama dengan Sagula dan Shivam Munda atau tidak. Tetapi, yang aku lihat, kedekatan Cik dan Pay sudah mirip kasih sayang antara suami dan isteri. Seolah keduanya saling membutuhkan. Cik Pay tak sedikitpun menghiraukan umpatan warga yang melihat jijik dengan ulah Cik Pay. Sampai warga menghujatnya, Cik Pay masih tetap dalam pendiriannya; mengasihi dan menyanyangi Pay, anjingnya.
Pay masih dalam gendongan Cik Pay. Beberapa kali Cik Pay mengelus bulu-bulu anjing itu. Elusan tangan Cik Pay, seperti jelmaan tangan Tuhan yang selalu menebar Rahman dan Rahim terhadap hamba-Nya. Tetapi itu tak tampak diantara detak jantung emosi warga. Justru pancaran kasih sayang Cik dan anjingnya terbinar di antara kegersangan batin di sebagian warga.
“Kalian tidak pernah berpikir, seandainya kalian bernasib seperti Pay sekarang?” Cik Pay mulai bicara.
“Kalian berniat membunuh Pay, padahal sebenarnya kalian tidak punya hak sedikitpun untuk mencabut nyawa setiap mahluk, walau seekor nyamuk sekalipun!”
“Alaaah, kamu itu lonthe, tidak usah ceramah! Kamu dan anjing sama saja!”
”Sudah, sekarang lemparkan anjing itu, dan kamu bisa tidur nyenyak, supaya nanti malam kamu bisa melayani banyak laki-laki,” tukas warga lainnya, ditingkahi gelak tawa secara spontan.
Cik Pay beranjak masuk. Warga terdiam sesaat. Tak lama, Cik Pay keluar membawa sebuah, tas, kardus dan plastik pelindung hujan. Beberapa warga berbisik. Sebagian warga menganggap Cik Pay sudah gila oleh anjing peliharaannya, sampai akhirnya sanggup berkorban hanya untuk seekor anjing.
“Mau kau apakan, anjing itu?”
”Bukankah kalian yang meminta agar aku dan anjingku ini keluar dari kampung ini? Aku akan turuti keinginan kalian, tapi dengan satu syarat, kalian tidak boleh membunuh anjing ini,” kata Cik Pay, sambil melangkah pergi meninggalkan kerumunan.
”Dasar perempuan sinting! Anjing dipelihara!”
Sejak Cik Pay pergi, warga kampung sedikit reda. Ada sekitar satu pekan warga kampung kami tidak lagi meributkan Cik Pay. Tetapi masuk dua pekan, kabar tentang perilaku Cik Pay terdengar lagi oleh sebagian warga. Cik Pay menyembunyikan anjingnya di pojok gerobak bekas pedagang bakso yang sudah rusak. Dengan penuh kasih dan sayang, Cik Pay merawat anjingnya. Menurut warga yang melihat, setiap malam, siang dan sore Cik Pay selalu mengunjungi Pay dan mengantar makanan. Warga di kampung kami makin heran dengan ulah Cik Pay.
“Kelakuannya makin yang tak masuk akal!”
“Jangan-jangan, Cik Pay sudah benar-benar gila!”
“Mungkin karena anjingnya lai-laki, gantinya suami ya anjing itu!”
Banyak nada ejekan dan hinaan yang menimpa Cik Pay. Tapi Cik Pay tetap keukeh merawat anjingnya. Tak peduli dengan cercaan warga. Toh, di mata Cik Pay, warga kampong kami tidak mengetahui ungkapan hatinya. Inilah kelemahan sebagian warga kampong kami. Melihat kenyataan sosial hanya dari pandangan lahir. Tidak pernah membaca dan menggali data-data ghoib atas kejadian di alam dan sekitarnua.
Memasuki bukan kedua, Cik Pay kembali ke kampung kami. Kali ini Pay tidak dibawa. Cik Pay tahu persis, kalau anjing peliharaannya dibawa akan kembali mengundang reaksi warga. Tetapi setiap ba’da maghrib, Cik Pay selalu keluar rumah. Ada bungkusan plastik hitam ditangannya. Sebongkah nasi dan sepotong ikan asin ia sediakan untuk anjingnya.
Tak urung juga warga kian hari penasaran terhadap ulah Cik Pay. Sebagian warga membuntuti dari belakang. Mereka ingin membuktikan cerita tak masuk akal tentang Cik Pay. Sebagian warga kampung kami kian hari justru kian sakit dengan dirinya sendiri. Sibuk mengurusi pekerjaan Cik Pay, sementara dirinya tidak pernah diurusi. Mencari-cari kelemahan Cik Pay yang kemudian mereka anggap merawat anjing yang terkena musibah dianggap sebuah tindakan yang hina.
Hanya dari jarak yang dekat, sebagian warga kampung kami melihat langsung bagaimana Cik Pay membelai anjingnya. Persis seperti ketika Cik Pay dihadapan warga satu bulan sebelumnya. Ia belai anjingnya dengan kasih sayang. Melihat kejadian itu, warga makin bingung. Tetapi Cik Pay tidak ambil pusing. Sejak Pay terhempas oleh sebuah mobil, kini Cik Pay kemudian punya dua pekerjaan. Selain menjadi pelacur, ia kini menjelma menjadi pemelihara anjing, seklaigus ibunya, yang setiap saat dengan setia memberi makan dan menadikannya.
Cik Pay melihat langit mendung malam itu. Ini tak baik bagi Pay. Diam-diam, Cik Pay membawa anjingnya pulang. Tak salah memang. Sesampai di rumah, hujan deras mengguyur kampung. Angin begitu kencang menerpa. Sesekali suara gemuruh terdengar, bersaamaan dengan riuh redamnya jutaan tetesan air dari langit. Pay dalam pelukan Cik Pay. Selembar kain ia bentangkan di tubuh Pay. Dengan penuh kasih dan saying, Cik memeluk anjing itu. Persis seperti seorang ibu yang tidak ingin anaknya masuk angina karena kedinginan.
Pagi harinya, warga berkerumun. Ada beberapa pohon tumbang akibat terpaan angin kencang tadi malam. Tak ada korban. Tetapi rumah beberapa warga sempat porak poranda. Sebagian warga ingatannya kembali pada Cik Pay dan anjingnya.
“Benar yang pernah dikatakan Pak War! Selama Cik Pay dan najingnya masih hidup, kampung ini tidak akan tenang. Sekarang hujan dan angin, besok mungkin banjir!” kata warga emosi.
“Tidak ada pilihan lain, Cik Pay kita usir dan anjingnya harus kita bunuh!”
Warga kampung kami secara serentak mendatangi rumah Cik Pay. Tak di sangka, Cik Pay sudah di depan rumah. Seolah ia mengetahui tentang rencana warga pagi itu. Cik Pay dengan kasih sayang masih menggendong Pay. Bulunya mulai halus. Kakinya mulai pulih walau harus berjalan pincang.
”Hei, bibi anjing! Sebenarnya apa maumu?!”
”Mestinya kamu pelihara laki-laki jadi suamimu, dari pada memelihara anjing kurap seperti Pay?!
Cik Pay hanya memandangi beberapa warga secara bergantian. Tak ada emosi yang terpancar dari wajahnya. Bahkan kecerahan tersemburat di wajah Cik Pay pagi itu. Beberapa warga saling pandang. Mereka heran dengan Cik Pay. Seperti tak ada rasa takut sedikitpun dengan ancaman warga.
“Dengar semuanya,” Cik Pay berdiri.
“Aku memelihara anjing ini seperti halnya kalian menyanyangi dan mencintai anak dan isteri,” katanya rendah.
”Hei! Jangan kamu samakan anjing dengan anak dan isteri kami!” protes warga.
”Aku, kalian, anjing ini, anak dan isteri kalian sama. Artinya sama-sama mahluk ciptaan Tuhan. Jadi, sesama mahluk kita tak punya hak untuk saling menyakiti, apalagi membunuh. Menyakiti mahluk di muka bumi, sama halnya kalian telah menyakiti yang menciptakan mahluk. Kalian membenci anjing ini, sama halnya kalian telah membenci yang menciptakan anjing. Alasanku memelihara dan merawat anjing ini hanya satu...” ucapan Cik Pay terhenti.
Sebagian warga hanya saling pandang. Mereka masih menunggu kalimat lanjutan dari mulut Cik Pay.
”Aku merawat anjing ini, karena aku cinta dengan yang menciptakan anjing. Aku memelihara anjing ini, karena aku cinta dengan yang menciptakan mahluk. Aku tidak ingin melihat anjing ini kesakitan. Membiarkan anjing ini kesakitan, sama halnya kita telah menyakiti yang menciptakan anjing. Aku tidak membalas amarah kalian, karena kalau aku membalasnya, itu sama saja aku sedang menghujat yang menciptakan kalian! Sama halnya aku telah menebar amarah terhadap yang menciptakan kalian!” kalimat Cik Pay tak bisa terbendung lagi. Ucapannya menggelontor bagai Dam air yang jebol. Suara Cik Pay terus membanjiri relung-relung kegersangan batin warga.
Warga termangu. Suasana menjadi hening. Tak ada amarah. Tak ada hinaan. Ada kerinduan dan cinta yang kemudian menyeruak di setiap batin warga. Sementara Cik Pay dan anjingnya sudah hilang di balik pintu rumahnya. Warga kemudian bergegas ingin masuk. Tetapi sampai di dalam rumah, tak dijumpai lagi Cik Pay dan anjingnya. Warga tak tahu kemana Cik Pay dan anjingnya pergi. Ia hilang bagai ditelan bumi.(*)
BTN Krg.Asam,
Tanjung Enim, 5 Desember 2008