PENGARANG PEREMPUAN DAN LOKALITAS



Catatan Anwar Putra Bayu

1. Miskin Pengarang Perempuan
Sebuah kenyataan yang harus diterima oleh jagad sastra khususnya dunia pengarang di Sumatera Selatan dengan jumlah penduduk lebih kurang 6.518.791 jiwa (data tahun 2003), yang mendiami 11 kabupaten dan 4 kotamadya, maka sedikit sekali bahkan dapat dihitung dengan jari tangan adanya pengarang berjenis kelamin perempuan.
Bila dicermati beberapa buku yang memuat tentang data atau biografi pengarang Indonesia, Buku Direktori Penulis Indonesia (Depdikbud 1997) misalnya, maka hanya tercatat nama seorang perempuan kelahiran Bangka, yakni Hamidah. Selebihnya pengarang dari Sumatera Selatan tercatat nama-nama seperti A. Bastari Asnin (Muara Dua, Komering), Alex Leo (Lahat), Bur Rasuanto (Palembang), Koko Bae atau Surya Gunawan (Palembang), Nurhayat Arief Permana (Palembang), Sobron Aidit (Belitung), Syamsu Indra Usman (lahat), T. Wijaya (Palembang), dan Wahab Manan (Palembang). Ini menunjukan bahwa dunia kepengarangan lebih banyak didominasi kaum lelaki.
Tentunya, sebagaimana nama-nama tersebut di atas, maka nama seperti B. Yass yang kelahiran Huta Padang, Kisaran (Sumatera Utara) juga merupakan sosok pengarang/sastrawan Sumatera Selatan yang tak kalah pentingnya memberikan kontribusi bagi perkembangan sastra modern Indonesia. Di masa hidupnya B. Yass banyak menyebarluaskan karya-karyanya berupa cerita pendek, novel, dan sastra lakon ke beberapa media cetak terbitan pusat dan daerah.
Setelah Hamidah meninggal pada 8 Mei 1953, tidak ditemukan lagi pengarang perempuan selama lebih kurang 37 tahun yang khusus memberi kontribusi terhadap denyut sastra di Sumatera Selatan. Barulah memasuki era 1990-an nama-nama seperti Hesma Eryani, Emedi Serry dan Ine Somad muncul. Kehadiran mereka mewarnai jagad sastra Sumatera Selatan melalui karya puisi mereka yang diterbitkan media cetak local.
Ine Somad misalnya, bersama lima penyair laki-laki (Antonarasoma, Dimas Agus Pelaz, Mulyadi J Malik, Nurhayat Arief Permana, S.N. Al-Sjajidi, dan Sumarman) adalah satu-satunya perempuan yang terlibat dalam Kumpulan Puisi Profetik “Ghirah”, yang diterbitkan oleh Sriwijaya Media Utama pada tahun 1992. Nama Ine Somad, Hesma Heryani, dan Emedi Seri belakangan ini, terutama sejak akhir tahun 1999 praktis tak terdengar lagi, apalagi setelah mereka menikah barangkali urusan domestic tampak lebih jadi penting. Meskipun menurut saya ini bukan satu-satunya alasan kemudian menghilang.
Membaca perkembangan sastra di Sumatera Selatan saat ini, maka tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan pertumbuhan dan perkembangan sastra sebelumnya. Menurut B. Trisman dalam sebuah tulisan bahwa kehidupan dunia kesasteraan modern dan keaktifan pengarang/sastrawan Sumsel dalam melahirkan karya-karya mereka sudah dimulai sejak masa sebelum kemerdekaan. Hal itu, kata Trisman, setidak-tidaknya dapat ditandai dan ditelusuri melalui system penerbitan di Sumatera Selatan.
Dalam tulisan ini, saya belum dapat melacak hingga awal abad ke 19, ketika di masa itu sudah ada surat kabar (Soeloeh Sriwijaya) yang terbit di Palembang. Mungkin akan membutuhkan waktu panjang agar bias menggali data atau informasi yang berkaitan dengan denyut nadi sastra di Sumsel. Akan tetapi, paling tidak perkembangan informasi selama tahun 1970 hingga 2000-an ini setidaknya bisa memberi gambaran.
Di masa tahun 1970-an, beberapa daerah di Indonesia, terutama di wilayah Sumatera ada semacam mulainya semangat baru ketika memasuki babak baru dalam rezim Orde Baru yakni kehidupan kesenian “disehatkan” kembali sejalan dengan kemurniannya. Betapa tidak, semasa PKI berkuasa dan mendapat tempat di tahun 1960-an, maka ketika itu kesenian harus dibelokkan menjadi alat kepentingan partai, sastra termasuk di dalamnya.
Semangat bari itu ditandai dengan adanya pertemuan-pertemuan sastra yang diselenggarakan berbagi institusi. Geliat sastra yang terjadi di beberapa daerah itu ternyata di Sumsel tak banyak melakukan aktivitas bersastra seperti diskusi, seminar, pembacaan karya sastra, dan penerbitan buku.
Pengecualian di kota Palembang sebagai ibu kota Propinsi Sumatera Selatan, suasana bersastra, terutama pembacaan puisi memang sedikit ada gaungnya, meski itu tak banyak. Ini tentunya disebabkan minimnya ruang berekspresi bagi perkembangan kepenyairan itu sendiri. Pada masa itu Palembang boleh dibilang minim soal media cetak (surat kabar atau majalah), sehingga tidak ada saluran kreatif bagi penulis puisi dan cerita penedk.
Keterbatasan itu tidak menjadi beberapa penggiat sastra lalu menyerah. Koko Bae (Surya Darmawan) misalnya, dalam usia yang masih muda saat itu berupaya melahirkan antolugi puisi mandirinya Gado-gado Kocak Koko Bae yang diterbitkannya pada tahun 1976 di Palembang. Menurut saya, bahwa antologi Koko Bae itu merupakan buku puisi tunggal yang pertama mengisi tahun 1970-an. Menyusul sembilan tahun kemudian barulah puisi-puisi Zainal Abidin Hanif mengisi Kumpulan Puisi Penyair se-Sumatera yang diterbitkan di Medan, Sumatera Utara. Setidaknya, tahun 1979 itu ada denyut sastra di Sumatera Selatan.
Kemunculan kedua penyair itu, Koko dan Hanif, tentu sangat berbeda latarbelakangnya, jika Koko Bae muncul dari arus bawah, maka Zainal Abidin Hanif muncul dari arus menengah dari lingkungan birokrat. Meminjam istilah B. Yass, tahun-tahun itu ada istilah seniman/sastrawan bilsuit. Dengan kata lain, seniman atau sastrawan jenis bilsuit –di-es-kakan—itu, biasanya lebih leluasa dan didukung ketimbang seniman atau sastrawan yang muncul dari gorong-gorong.
Antara Koko dan Hanif memang berbeda terutama dalam sikap berkesenian/bersastra. Dalam puisi misalnya, kedua penyair itu memiliki visi serta ideologi yang berbeda. Dari segi tema Koko lebih cenderung ke warna protes sosial, sedangkan Hanif lebih menonjol kepada warna ketuhanan.
Tidak berhenti pada penerbitan antologi itu saja, Koko Bae pun mulai membangun tradisi baca puisi di Palembang. Dia membacakan karyanya di depan publik. Apa yang dilakukan oleh Koko Bae tak lain mengimbangi tradisi baca puisi (audio) di RRI melalui Sanggar Sastra yang diasuh oleh Zainal Abidin Hanif. Acara baca puisi yang diasuh oleh Hanif itu memang sangat disukai masyarakat pendengar. Apa yang dilakukan oleh kedua penayir tersebut pada waktu itu merupakan kerja apresiasi yang sangat positif.
Melalui Sanggar Sastra itulah ternyata banyak melahirkan deklamator/deklamatris ketimbang penulis puisi. Program dan pembinaan Sanggar Sastra itu memang tidak diarahkan bagaimana cara menulis puisi misalnya, namun program itu lebih kepada bagaimana melisankan teks puisi dengan baik. Kalaupun adakemudian muncul penulis-penulis puisi yang baik seperti Awu Samidha, Jalius Marbe, Umar Zippin, Emedi Sery, Hendra Kusuma Wijaya, dan Z.A. Narasinga, hal itu disebabkan proses individu masing-masing.
Kemudian memasuki tahun 1980-an, geliat sastra/puisi bertumpu dan terpusat di kota Palembang. Munculnya tradisisi baru berupa festival baca puisi mulai menjadi virus, sehingga kehidupan dunia sastra makin berdenyut.
Publik sastra di Palembang setidaknya mulai akrab dengan nama-nama sastrawan, seperti Taufik Ismail, Rendra, Yudhistira, Abdul Hadi WM, dan lain-lain. Selain itu, karya-karya Umar Zippin, Koko Bae, Jalius Marbe, Narasinga, dan Hendra Kusumawijaya mulai juga akrab di telinga publik sastra Sumatera Selatan, khususnya Palembang.
Di tengah maraknya festival baca puisi sebagai cerminan budaya formalistik, maka di sisi lain turut pula mewarnai dengan terbitnya beberapa antologi puisi tunggal maupun bersama dalam bentuk cetakan buku maupun manuskrip antara lain, Sajak Kumur-kumur karya Yan Romain Hamid, Perjalanan Libeling karya Tommy dan Zulkifli, Sajak Calon Presiden 2100 karya Koko Bae, dan Musi karya Toton dan Iqbal Permana.
Akumulasi dari proses kepenyairan masa itu puncaknya ditandai dengan penerbitan dan pembacaan puisi oleh 10 Penyair (4 Nov. 1988). Sepuluh penyair itu adalah Anwar Putra Bayu, Ade Muchklis T, Jalius Marbe, Dimas Agus Pelaz, JJ. Polong, Tommy, Toton Dai Prmana, Yunen Asmara, Zulkifli Hardy, dan Yos El Yass. Setahun kemudian dilanjutkan lagi dengan penerbitan kumpulan puisi bersama Rendezvouz oleh Anwar Putra Bayu, Dimas Agus Pelaz, dan Toton Dai Permana
Semenjak itulah suasana bersastra mulai berkembang. Munculnya iklim yang mulai kondusif ditandai dengan munculnya koran-koran lokal yang kemudian menyediakan halaman sastra dan budaya. Ditambah lagi juga munculnya kantung-kantung sastra yang berkesinambungan dan tertumpu di kota Palembang. Sementara geliat sastra di tempat lain di wilayah Sumatera Selatan belum muncul kecuali Kabupaten Lahat, dari sini muncul nama Syamsu Indra Usman.HS.
Iklim bersastra di masa tahun 1980-an menambah naik suhunya, untuk seterusnya ada penajaman ketika masuk dan menjalani tahuun 1990-an hinggan yahun 2000-an. Di masa-masa ini puls penrebitan buku puisi makin banyak muncul. Demikian pulan berbagai even dan kegiatan sastra yang bersifat lokal, nasional, bahkan internasional.
Dalam era ini pula muncul nama-nama seperti T. Wijaya, SN. AL Sadjidi, Antonarasoma, Warman. P, Nurhayat Arif Permana, Ahmad Rapani Igma, Firdhamoest (M. Rahman Arpan), Ine Somad (penyair wanita). Tentunya mereka hingga saat ini masih dalam proses pencarian, yang pada gilirannya menuju kematangan masing-masing. Jika memang digeluti secara konsisten.

2. Gerakan Menulis Novel dan Warna Lokal

Dalam tujuh tahun belakangan ini, perkembangan sastra di Sumatera Selatan cukup menarik gejalanya. Setidaknya ada tiga hal yang perlu diketahui. Pertama munculnya beberapa nama pengarang perempuan seperti Ikhtiar Hidayatai (puisi/cerpen), Dahlia (cerpen, puisi, novel), Duhita Ismaya Arimbi (puisi), Indah Rizky Ariani (puisi), Ikhtiar Jannati Arini (puisi), Pipit (puisi), Deris Afriani (cerpen). Selain juga muncul pengarang laki-laki antara lain, untuk skedar menyebut beberapa nama, Anton Bae (puisi, cerpen), Pinasti S. Zuhri (cerpen, puisi), Rendi Fadillah (cerpen, puisi), Sena B. Sulistya (puisi), Nurahman (cerpen), Rizal Bae (cerpen, drama), dan Koko P. Bhirawa.
Kedua adanya kecenderungan beberapa orang beralih menulis novel. Dalam lebih kurang dua tahun belakangan ini Jagad sastra Sumsel sudah memiliki novel antara lain Juaro (T. Wijaya), Angin (Toton Dai Permana), Jungut (Dahlia), Dinding (M. Rahman Arpan), Sekojo (Anton Bae), Pulau Kemaro (Anwar P Bayu), dan Napsiah Matjik (Antonarasoma). Penulisan novel ini sebelumnya sudah dimulai oleh Helmi Apri HZ. (Hutan Karet Gugusan, 1987) dan Kamil (………………………………..).
Ketiga adanya kecenderungan warna lokal dalam beberapa tulisan, baik puisi, cerpen, drama, dan novel. Novel Buntung misalnya, novel ini bercerita soal masa depan Indonesia, sebuah prediksi (materialisme marxis) yang membenturkan kondisi sosial, ekonomi, politik, sejarah, dan kepercayaan (agama) masyarakat Indonesia. Namun dengan mengambil setting “ Indonesia kecil” yakni Palembang, di mana Palembang memiliki sejarah yang panjang dan besar di nusantara, tentunya menjadi contoh ideal buat Indonesia .
Tokoh-tokoh di dalam novel Buntung ini tidak ada yang menonjol. Semua tokoh sama. Cerita terbangun atas peristiwa seperti karakter manusia, ketegangan sosial, ekonomi, dan kepercayaan. Pada akhirnya cerita Buntung ditutup dengan keinginan manusia kembali pada hati nuraninya untuk hidup damai dan tenang. Dan tidak peduli dengan sejarah, Negara, atau peradaban besar.
Tidak peduli dengan Indonesia itu masih ada atau tidak ada. Novel yang ditulis oleh T. Wijaya ini merupakan hasil studi teks sejarah, kultural, dan empirik dengan peristiwa-peristiwa sosial, seperti mengenai perilaku dan sikap para preman Palembang .
Yang menggembirakan untuk perkembangan sastra di Sumatera Selatan saat ini, adalah munculnya novel Jungut (saat ini masih dalam proses cetak) yang ditulis oleh seorang perempuan, Dahlia namanya. Novel itu bercerita tentang perampasan tanah adat seluas 3000 Ha, yang pada gilirannya tana itu menjadi hutan industri. Setting lokal begitu kental dalam novel Jungut.
Gerakan menulis novel dan membangun lokalitas yang terjadi saat ini di Sumatera Selatan, khususnya di Palembang setidaknya “jihad kembali ke akar” yang dilakukan oleh Taufik Wijaya, hasilnya beberapa pengarang mengalami bunting! Hal ini mengingatkan saya pada pandangan Maman S. Mahayana, bahwa penting memproklamirkan semangat lokalitas menjadi sebuah gerakan yang lebih mandiri dalam arti tidak lagi bergantung pada dominasi pusat. (*)